
“Entah kapan dan di mana pun aku berada, terasa hampa dan gelisah saat menjauh dari-Mu. Ya Allah, mohon kosongkanlah hati ini dari keterikatan dunia dan jadikanlah Engkau sebagai pengisinya.”
Pernyataan ini mengandung makna yang penting dalam pemahaman tentang hidup untuk Allah. Hal ini menyiratkan bahwa, hidup yang ditujukan untuk Allah tidak berarti harus meninggalkan atau mengabaikan semua aspek kehidupan dunia, tetapi sebaliknya, memandang setiap urusan dunia sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hidup untuk Allah berarti menjadikan Allah sebagai tujuan utama dalam segala aspek kehidupan kita, baik dalam ibadah maupun dalam urusan dunia. Ketika kita hidup untuk Allah, segala sesuatu yang kita lakukan di dunia ini dijalankan dengan niat yang ikhlas dan penuh kesadaran bahwa tindakan tersebut adalah bentuk ibadah kepada-Nya.
Menjadikan semua urusan dunia sebagai bekal untuk bertemu dengan Allah berarti menggunakan kehidupan ini sebagai sarana untuk memperoleh kebaikan, belajar, berbuat baik, dan membangun hubungan yang baik dengan sesama manusia. Segala tindakan kita dalam pekerjaan, keluarga, studi, atau bidang lainnya dijalankan dengan semangat memperoleh ridha Allah.
Dalam konteks ini, hidup untuk Allah juga berarti menggunakan potensi dan kekayaan yang kita miliki sebagai amanah yang diberikan oleh-Nya. Kita menjalankan tanggung jawab kita terhadap harta, waktu, pengetahuan, atau keahlian dengan cara yang bermanfaat dan mencerminkan kepatuhan kepada-Nya.
Memandang hidup untuk Allah sebagai bekal untuk bertemu dengan-Nya, kita memperoleh perspektif yang lebih luas dan mendalam tentang arti kehidupan. Setiap pengalaman, perjuangan, dan pencapaian dunia dapat menjadi sarana untuk mengembangkan diri, memperbaiki hubungan dengan Allah, dan berkontribusi dalam memperbaiki dunia ini.
Dalam kesimpulannya, hidup untuk Allah bukanlah tentang meninggalkan dunia, tetapi memandang dunia sebagai medan untuk menggapai ketakwaan, mendekatkan diri kepada-Nya, dan mempersiapkan diri untuk pertemuan dengan-Nya di akhirat.
Dikatakan seorang yang zuhud, apabila selama dirinya memiliki Allah, maka dia akan memiliki segalanya.
Barang siapa yang menemukan Allah, maka dia mendapatkan semuanya. Dan barang siapa yang kehilangan Allah maka dia akan kehilangan segalanya.
Seorang yang zuhud itu diibaratkan seperti bayi yang masih menyusu kepada ibunya. Apabila dirinya bersama sang ibu, maka dia akan merasa tenang, aman dan bahagia. Ketika sedang tidak bersamanya, ia merasa sedih dan tidak nyaman. Tidak ada bedanya hidup di istana ataupun di gubuk derita.
Dalam kehidupan ini, kita melihat banyak orang yang terlena dalam kenikmatan dunia dan melupakan Allah serta janji dan ancaman-Nya. Mereka menganggap agama hanya sebagai permainan dan hiburan semata.
Sebagian orang mungkin berpikir, “Betapa menariknya apa yang mereka lakukan (kelalaian atau kemaksiatan), sedangkan mereka tampak begitu nyaman hidup, lebih disukai oleh banyak orang, dan merasakan kelezatan kelalaian atau kemaksiatan tersebut.”
Allah menjelaskan berbagai daya tarik dunia, seperti hubungan dengan lawan jenis, kemewahan dalam berpakaian, kendaraan, tempat tinggal, dan prestise yang dicari setiap orang dalam urusan dunia, kekayaan, dan keturunan. Hal ini terjadi pada mereka yang mencintai dunia dan merasa puas dengan itu. Mereka terlalu terikat dan terbuai oleh kenikmatan dunia.
Pacaran, zina, tabarruj, pelanggaran tata krama, kesombongan, konsumsi alkohol, mabuk, hiburan malam, ghibah, bohong, Kecurangan dan sejenisnya terasa sudah menjadi hal yang dianggap normal dan menjadi bagian dari kehidupan. Sedangkan kebaikan, tata krama, ketaatan, kejujuran, dan kesabaran terasa seperti sesuatu yang asing, seperti bunga yang tumbuh di tengah padang pasir pada malam hari yang gelap.
Apakah ada masalah dengan saya? Apakah ada masalah denganmu? Apakah ada masalah dengan kalian? Apakah saat ini adalah waktu di mana kebaikan meredup dan kegelapan muncul? Apakah kegelapan telah terbit setelah adanya terang? dapatkah saya melihat cahaya kembali?
Memang benar bahwa manusia tidak bisa lepas dari kesalahan dan kekeliruan. Namun, semua orang telah terlalu sibuk dengan kelalaian dan perbuatan maksiat, lalu sampai kapan seseorang bisa bertahan dengan menutup mata dari kebaikan?
Jika dengan semua kenikmatan maksiat saya menikmati hidup dan terus dalam kelalaian, di mana Allah berada dalam hati saya? Jika kita terus terperangkap dalam lingkaran setan dan menutup mata dari kembali kepada Allah, tolong beritahu, untuk apa kita hidup? Apakah maksiat itu adalah keindahan dan ketaatan hanyalah sebuah pembatas yang menyedihkan?
Banyak orang yang telah merasakan dampak negatif dari maksiat dan menemukan kebahagiaan sejati dalam ketaatan kepada Allah. Mereka menyaksikan bahwa maksiat hanya memberikan kepuasan sesaat dan kesia-siaan, sementara ketaatan dan hidup dalam bimbingan agama membawa kedamaian, kebahagiaan, dan kepuasan yang lebih mendalam.
Pengalaman pribadi orang-orang, termasuk saya, yang pernah terjerumus dalam maksiat menjadi bukti konkret bahwa keindahan terletak pada ketaatan kepada Allah, dan maksiat hanya membuahkan penyesalan dan kehancuran.
Percayalah, bahwa zina, kesombongan, tidak beretika, dan segala manisnya maksiat hanyalah ilusi, dan semua kebaikan itulah yang membuat kehidupan ini indah, lagi pula tidak ada kata terlambat untuk pulang siapapun anda dan setua apapun usia. Jika Anda meragukan semua ini dan ingin terus konsisten dalam menjalani hidup dengan menikmati maksiat dan kelalaian, maka teruslah, karena itu merupakan pilihan Anda. Mungkin Anda merasakan kelezatan hidup dengan menjalankannya.
Jika Anda yakin bahwa Anda berada di jalan yang benar dalam kehidupan ini, maka jadikanlah semua kelalaian itu sebagai bukti bahwa Anda hidup hanya untuk Allah dan bekal untuk bertemu dengan-Nya, dan nyatakan dengan tegas bahwa Anda adalah contoh orang yang benar dalam memilih kehidupan. Jika Anda mengakui bahwa Anda tidak terlepas dari kesalahan, bertanyalah sampai kapan Anda akan terus berada dalam lingkaran maksiat tersebut?
Hidupilah kehidupan Anda dengan apa yang memberikan kenyamanan bagi Anda. Perlu diingat bahwa kenyamanan dalam hidup seseorang bersifat relatif. Beberapa orang mengukurnya dengan kekayaan, beberapa orang dengan hubungan dengan lawan jenis, dan yang lainnya dengan rasa hormat dari orang lain terhadap dirinya. Namun, saya berharap kita semua termasuk dalam golongan yang mengukur keindahan hidup dengan cinta kepada Yang Maha Agung dan Yang melebihi segalanya dan mereka menyadari bahwa kehidupan tanpa kehadiran Allah akan terasa hampa dan tidak memuaskan.
when i read this, touch my deepest heart, ????????????