
PPITunisia – Akademisi dan tokoh perempuan, Nur Rofiah tampil sebagai satu-satunya pembicara wanita yang hadir dalam agenda tahunan PPIDK Timur Tengah dan Afrika di Tunisia pada 18 Juli lalu, dengan tema seminar “Peran Perempuan dalam Moderasi Beragama”.
Nur Rofiah menjelaskan betapa tingginya kesenjangan antara kehidupan perempuan dan laki-laki. Semakin radikal pemahaman seseorang terhadap agama, maka nilai perempuan hanya sebatas mesin untuk memproduksi anak. Para radikalis tersebut menggaungkan glorifikasi poligami, melakukan perkawinan anak, dan melarang penggunaan alat kontrasepsi. Semua itu bertujuan agar para wanita bisa melahirkan anak sebanyak-banyaknya dan membesarkan mereka sebagai jihadis juga.
Selain itu, para lelaki di zaman dulu menganggap perempuan bukan sebagai manusia, namun sebagai harta. Sehingga ketika laki-laki memiliki kuasa, tidak hanya ditandai dengan banyak harta saja, namun juga ditandai dengan banyaknya wanita.
“Dunia itu sangat maskulin. Filosofnya laki-laki, ilmuwannya laki-laki, penguasa negaranya laki-laki, tokoh masyarakatnya laki-laki, tokoh agamanya pun laki-laki. Sehingga sangat mungkin, pengalaman kemanusiaan khas perempuan yang tidak dimiliki laki-laki itu tidak terbayang dalam pikiran mereka. Sementara, cara pandang laki-laki secara umum terhadap perempuan seperti yang terlihat dalam gambar, perempuan itu adalah hartanya laki-laki, bukan dilihat sebagai manusia.” Tuturnya.
Moderasi beragama menurut Nur Rofiah adalah beragama yang bergerak menuju cita-citanya. Yaitu sistem yang adil dan tidak zalim antara pihak kuat pada pihak lemah, begitu pula antara laki-laki pada perempuan. Karena selama ini hubungan mereka vertikal, dan hal ini harus dihilangkan.
Sebagai pengajar di bidang ilmu Al-Qur’an, ia menjelaskan bahwa tujuan final Al-Qur’an adalah menjadikan seluruh manusia di muka bumi ini menjadi khalifah fil ardi atau pemimpin di dunia. Bukan hanya pihak kuat atau pun laki-laki saja, tapi itu adalah tugas seluruh manusia.
Nur Rofiah berkata, “Di Indonesia, perempuan tidak hanya bisa menjadi subjek penuh sebagai terdakwa, tetapi juga sebagai saksi, sebagai hakim, bahkan sebagai ketua Pengadilan Agama. Pertanyaannya, kita bertentangan dengan Al-Qur’an atau melanjutkan apa yang sudah dimulai
Rasulullah?” Ujar Nur Rofi’ah.
Di zaman Nabi Muhammad, perbudakan masih tetap ada dan tidak ada satu pun ayat dalam Al-Qur’an yang mengharamkan sistem perbudakan. Sekarang kita hidup di masa yang tidak ada sistem perbudakan. Dalam hal ini, melanjutkan apa yang telah dicontohkan Rasulullah.
Lalu, ia melanjutkan “begitulah kira-kira moderasi beragama. Yaitu proses yang terus berjalan menuju kebaikan. Dan meyakini bahwa semua orang punya amanah kuat dalam diri masing-masing untuk menjadi khalifah di bumi ini.” Pungkasnya.
Hanna Yusriyah, Mahasiswi Universitas Az-Zaitunah Tunisia