PPI TUNISIA

Menyikapi Fenomena Self-Hatred Mindset Perspektif al-Qur’an

Menyikapi Fenomena Self-Hatred Mindset Perspektif al-Qur’an
Oleh : Muhammad Yusril Muna

Rasanya di era modern ini, banyak orang yang menganggap dirinya selalu pesimis akan suatu keadaan. Menanggapi sesuatu dalam dirinya selalu dengan hal yang negatif. Mindset dalam pikirannya terus-terusan memandang rendah diri sendiri. Hal ini semua dapat menimbulkan krisis emosional atau respon negatif dalam individu.

Contoh saja, ketika tiba masa-masa pendaftaran kampus. Alih-alih ingin masuk PTN terbaik. Dalam benak pikiran, ”ngapain sih mencoba? pasti gak bakal keterima”. “pasti akan gagal”. Kalimat-kalimat tersebut secara reflek terucap dari pikiran kita.  Seakan terjebak dan membuat diri kita selalu pesimis akan suatu hal. Padahal, secara tidak sadar, kita bukan seburuk itu, pasti ada kualitas yang terdapat dalam diri kita untuk mencapai sesuatu tersebut.

            Menurut Fahruddin Faiz dalam ceramahnya, fenomena ini disebut dengan self-hatred mindset, cara berpikir membenci diri sendiri. Maksudnya, kritik negatif terhadap diri sendiri yang termasuk perasaan tidak mampu, perasaan bersalah, dan rendah diri. Seseorang melakukan suatu hal selalu merasa bahwa dirinya tidak cukup baik atau bahwa ia tidak layak untuk hal-hal baik dalam hidup.

            Lebih lanjut lagi, Fahruddin menjelaskan ciri-ciri orang yang memiliki self-hatred mindset sebagai berikut: Pertama, cara berpikir selalu negatif atau pesimis. Meskipun hal itu sangat baik, tapi selalu menanggapi dengan hal yang negatif. Kedua, sering membandingkan diri sendiri dengan orang lain dan cenderung rendah diri. Padahal, setiap orang sama berharganya dan memiliki kemampuan untuk mengembangkan cinta kasih pada diri sendiri. Ketiga, tidak percaya diri dan sulit menerima pujian dari orang lain. Selalu berpikir bahwa, hal itu hanyalah sikap manipulatif.

Keempat, berprasangka bahwa orang lain tidak menyukai dirinya dan sulit menerima kritikan dari orang lain dan menganggapnya sebagai hinaan.  Kelima, Sering merasa cemburu dan membandingkan terhadap orang lain. Seakan lupa, padahal dalam dirinya ada banyak hal penting yang patut untuk disyukuri. Keenam, berpikir bahwa setiap hubungan dengan orang lain akan berakhir buruk dan cenderung tidak memiliki impian karena takut akan kegagalan. 

Sampai pada akhirnya, mindset ini mengakibatkan kita terus saja ajeg di tempat, alias tidak melakukan apapun. Semakin kita merasa buruk, kita akan semakin malas berusaha. Karena semua yang kita lakukan, orientasinya hanyalah akan menjadi sia-sia.

Anjuran Self-Confidience dalam al-Qur’an

            Konsep Self-Confidence atau kepercayaan diri menjadi sebuah wacana penting bagi masyarakat akhir-akhir ini untuk keberlangsungan hidup manusia. Juga merupakan bagian dari mencintai diri sendiri akan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menerima dirinya sendiri, termasuk merasa puas dan bangga terhadap apa yang ada pada dirinya. Dalam kenyataannya, kita sering kecewa dengan diri sendiri atas segala potensi yang ada.

            Menurut Akrim Ridha dalam bukunya Menjadi Pribadi Sukses, yang dikutip oleh Achmad Suhaili, Self-Confidence adalah kepercayaan manusia dalam dirinya akan cita-cita hidup dan percaya akan segala potensi kemampuannya. Maksudnya, percaya diri itu orang yang meyakini bahwa ia memiliki cita-cita dan mampu untuk melakukan atau mewujudkannya. Maka, sebisa mungkin segala perasaan ketakutan, minder untuk dibuang jauh-jauh.

            Dengan adanya kepercayaan diri, kita akan berani menampakkan diri secara apa adanya, tanpa menonjol-nonjolkan kelebihan serta menutup-nutupi kekurangan. Inilah orang yang telah benar-benar memahami dan mempercayai kondisi dirinya, sehingga telah bisa menerima kondisi dan keadaan dengan apa adanya. Seperti perkataan terkenal dari kalangan tasawuf, “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya

            Al-Qur’an juga telah menegaskan tentang anjuran percaya diri dalam surat Ali Imran ayat 139. “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” Ayat tersebut dapat dikategorikan dengan ayat yang berbicara tentang persoalan percaya diri. Nampak jelas bahwa orang yang percaya diri dalam al-Qur’an disebut sebagai orang yang tidak takut, bersedih hati serta mengalami kegelisahan  termasuk dalam kategori orang yang beriman.

            Seperti kisah Nabi Zakariya beserta istrinya, mereka sudah memasuki masa tua dan tidak memiliki keturunan. Ia sempat merasa khawatir, siapa yang akan menjadi penerusnya kelak dalam berdakwah ketika dirinya sudah tiada. Akan tetapi, Zakariya sangat percaya diri untuk selalu berdoa kepada Allah agar dikaruniai keturunan. Doa yang dipanjatkan sangat penuh kesabaran. Ia memohon untuk diberi keturunan yang shaleh yang kelak bisa menggantikannya. Hingga pada akhirnya Allah memberikan jawaban atas doa-doa yang dipanjatkan dengan kabar gembira kelahiran Yahya.

            Dari kisah tersebut, kita ambil pelajaran bahwa self-confidence dapat ditempuh dengan cara : pertama, mengenal diri sendiri dan percaya atas segala potensi yang ada. Kedua, selalu berprasangka baik atas setiap kondisi apapun. Ketiga, menyerahkan segala urusan kepada Allah. Keempat, bersyukur.

            Pada akhirnya, bagaimana cara kita untuk selalu menerima diri sendiri, bangga terhadap diri sendiri, merasa puas, dan selalu bersyukur. Melihat masa lalu tanpa penyesalan, melihat hari ini dengan rasa syukur, dan melihat masa depan tanpa rasa khawatir. Sehingga, dengan hal-hal tersebut hidup akan menjadi bahagia dan mendapatkan target-target yang telah kita rancangkan. Wallahu A’lam bi al-Shawwab.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *