
Pengaruh Superiority Complex dalam Individu Seorang Muslim
Oleh : Muhammad Fawwaz Yassar
Islam merupakan agama yang sempurna. Mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan manusia baik dari segi beribadah kepada Allah maupun interaksi sosial kehidupan di masyarakat. Salah satu hal yang diatur dalam islam adalah larangan bersikap sombong dan meremehkan orang lain.
Era modern sekarang, banyak fenomena seseorang menilai terhadap orang lain tanpa memandang dirinya sendiri. Kroscek terhadap dirinya sendiri jauh lebih penting daripada mengurusi orang lain. Sehingga, timbul rasasombong merasa dirinya paling lebih baik.
Dalam dunia psikologi, fenomena tersebut disebut dengan istilah superiority complex yaitu seseorang yang dirinya lebih baik dan meremehkan orang lain. Mungkin dari kita pernah menghadapi orang seperti ini, atau bahkan kita sendiri pelakunya. Padahal, terdapat sebuah istilah “di atas langit masih ada langit”, shalat yang setiap hari kita lakukan, harus mengucapkan bahwa hanya Allah SWT yang boleh merasa paling besar, paling tinggi, paling segalanya.
Hal ini, bukan hanya terjadi dikalangan orang kaya, orang hebat, atau orang pintar saja. Akan tetapi, mirisnya terjadi juga dikalangan para penuntut ilmu. Padahal dalam dunia psikologi, sifat angkuh atau sombong adalah semata-mata dilakukan untuk menutupi kekurangan, dan kegagalan dimasa lalu.
Pernyataan “akulah si paling lebih baik atau aku lebih baik dari dia”menyerupai pengakuan iblis yang membuat ia terhina karena kesombongannya. Dalam surat al-A’raf ayat 12, Allah SWT berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud di waktu aku menyuruhmu? Iblis ku lebih baik daripada dia (adam): engkau menciptakan aku dari api sedangkan dia engkau ciptakan dari tanah”.
Lantas apa penyebab merasa diri lebih baik dan kenapa bisa demikian?
Penyebab yang pertama adalah bertambahnya harta atau ziyadatul mal. Ke-dua adalah tambahnya kedudukan atau ziyadatul mansib. Ke-tiga adalah bertambahnya ilmu atau ziyadatul ilm. Ke-empat adalah bertambahnya ketaatan atau ziydatul tha’ah.
Terdapat sebuah istilah kekinian tentang memamerkan sesuatu hal atau barang, dengan tujuan untuk mendapatkan sebuah validasi agar mendapatkan perasaan superior, yaitu Flexing. Flexing dapat diartikan suka memamerkan apa yang dimiliki di media sosial, atau juga di dunia nyata. Tentunya, sifat suka pamer ini bukanlah sikap yang terpuji.
Insecure menjadi salah satu faktor penyebab seseorang melakukan flexing. Mereka akan melakukan flexing ketika mereka merasa keberadaannya kurang dihargai atau kurang dianggap penting oleh orang lain. Mereka akan menunjukkan kepada publik bahwa dirinya berhak untuk diterima dalam lingkungan serta diberi pengakuan
Dari beberapa penyebab yang disebutkan di atas yang paling berbahaya adalah bertambahnya ilmu dan bertambahnya ketaatan.
Berkaitan dengan bertambahnya ilmu, terdapat pepatah terkenal mengatakan “Semakin berisi, semakin menunduk” atau disebut juga dengan ilmu padi, diksi dari “menunduk’’ adalah bukan rendah diri, tetapi rendah hati atau tawadhu.
Berilmu merupakan hal yang wajib. Karena menjadi hal wajib, di situ menjadi sarang empuk bagi hal-hal negatif jika kita tidak pandai memilih dan memilahnya. Dan juga menjadi kesempatan emas untuk setan-setan menghasut para penuntut ilmu. Sebab dengan ilmu yang kita miliki, membuat kita merasa menjadi lebih pandai dari orang lain, merasa lebih sok tau dari orang lain, yang menjadikannya sombong.
Ada kalimat yang mungkin umum kita dengar dan lihat “Ilmu itu seperti pisau, tergantung kita menggunakannya untuk apa. Apakah memotong bawang di dapur untuk memberi makan kepada orang atau membunuh seseorang”. Ilmu itu bisa menjadi hal yang menjerumuskan kita kepada hal-hal buruk, tapi ilmu juga bisa menjadikan kita memperoleh kebaikan dunia dan akhirat dengan mengajarkan dengan ikhlas kepada orang lain.
Sedangkan berkaitan dengan bertambahnya ketaatan, ternyata semakin bertambahnya ketaatan bagi seseorang, bisa menjadi sebab merasa diri lebih baik. Karena dengan semakin bertambahnya ketaatan manusia kepada Allah Swt, semakin berusaha keras juga setan mempengaruhi manusia.
Kalimat non formalnya adalah “kalo hambanya seorang kyai, setan penggodanya juga yang sudah berpengalaman menjerumuskan kyai. Kalo setannya seorang tenaga pendidik, setannya juga sudah berpengalaman menjerumuskan para tenaga pendidik”
Masalahnya adalah musuh nyata yang tak kesat mata yaitu “Iblis dan setan” sudah ada sejak dahulu, mengganggu dan menjerumuskan para pendahulu. Konon katanya setan yang menggagu dan mejerumuskan Nabi Adam A.s dan Siti Hawa masih ada sampai saat ini.
Contohnya, seperti seseorang yang rajin sholat ke masjid setiap harinya. Tapi suatu ketika dia melihat seseorang tidak mau beribadah seperti dirinya, terbesit dalam hatinya “dia belum dapat hidayah seperti saya”. Pada kenyataannya, hal itu membuat mereka merasa lebih baik dibandingkan dengan orang lain.
Selajalan dengan perkataan Syekh Abdul Aziz At-Thuraifi “Jika setan gagal membuat seseorang menjadi riya, maka setan akan membuat seseorang memuji dirinya sendiri”, atau “Jika iblis gagal membuat seseorang menjadi jahat, maka dia akan membuat seseorang merasa lebih baik”
Tapi dilain sisi, merasa superior juga dibutuhkan, karena perilaku dan sifat superior ini merupakan mekanisme bela diri dibalik perasaan inferior (kurang percaya diri)/insecure. Sifat superior sering kali dikaitkan dengan sifat sombong, yang tentunya memiliki konotasi negative bagi hampir semua lapisan masyarakat. Hal ini menjadi alasan mengapa banyak orang yang kurang suka dengan karakter dan sifat seperti ini.
Islam tidak melarang untuk menjadi pribadi yang superior, hanya saja islam melarang memiliki sifat dan sikap superior/percaya diri secara berlebihan. Karena terkadang apapun yang berlebihan itu tidak baik. Oleh karena itu islam membatasi rasa percaya diri secara berlebih itu dengan sadar diri (rendah hati/Tawadhu) dan rasa syukur.
Dan sedikit renungan lagi bagi kita terkhusus untuk penulis yaitu “jika allah menjamin surga bagi keimanan seseorang walaupun sebesar biji zarah, lantas apakah bisa membuka pintu neraka untuk kita yang memiliki kesombongan sebesar biji zarah?
Terlepas itu semua, kita hanyalah manusia biasa, yang tak luput dari dosa, sebagai mana layaknya tanah, ada tanah sengketa (rasa selalu panasan/iri dengki), tanah warisan (merasa lebih terhormat melalui garis keturunan), tanah wakaf (hanya mengharapkan ridho dari sang maha penciptanya). Wallahualam.