
Sumber gambar : https://www.agoraafricaine.info/wp-content/uploads/2022/02/Sayyida-al-Hurra.jpg
Sayyida al-Hurra, Sang Ratu Bajak Laut yang Terlupakan
Oleh : Dinda Ayu Lestari
Ketika mendengar istilah bajak laut, dalam fikiran pasti membayangkan ia adalah seorang laki-laki, tangguh dan pemberani. Dilengkapi dengan kapal besar yang selalu membersamainya, juga segala perlengkapan perang. Akan tetapi, tidak dengan salah satu tokoh ini. Ia merupakan tokoh perempuan hebat Islam yang terlupakan setelah kematiannya. Kemudian, kisahnya ditemukan dan diabadikan kembali oleh seorang pejuang feminisme, Fatima Mernissi dalam bukunya The Forgotten Queens of Islam, ia merupakan Sayyida al-Hurra.
Nama aslinya merupakan Lalla Aicha el-Alami. Keberanian dan kecerdasannya yang luar biasa menjadikan ia memperoleh gelar Sayyida al-Hurra “Wanita yang bebas dan mandiri”. Ia juga seorang ratu di kota Tétouan, Maroko yang memerintah selama tiga puluh tahu. Sosok perempuan yang berani berperang melawan Portugis dan melakukan pembajakan. Berkat pembajakannya yang hebat, ia akan selamanya dikenal sebagai Ratu Bajak Laut Maroko.
Bajak Laut perempuan legendaris ini, lahir pada tahun 1485 M di Granada, Spanyol. Ia lahir dari keluarga Muslim terkemuka, ayahnya adalah Ali ibn Rashid el-Alami, seorang kepala suku yang berasal dari keluarga bangsawan, ia berhasil mendidik Sayyida al-Hurra dengan pendidikan yang terbaik.
Sayyida dibesarkan di Kerajaan Granada, Spanyol selatan. Kerajaan Granada atau dalam Bahasa Spanyol “Reino de Granada” adalah sebuah kerajaan muslim, yang di perintah oleh muslim selama hampir delapan abad dan merupakan kerajaan muslim terakhir di Andalusia. Namun setelah Muhammad XII, sultan terakhir dari Kerajaan Granada, menyerah kepada Isabella dan Fernando pada tahun 1492.
Kota Granada yang menjadi pusat kekuatan umat muslim di Semenanjung Iberia mulai kehilangan kekuatan politik dan ekonominya dan mulai memasuki masa-masa kemunduran dan menuntut agar orang Yahudi dan Muslim yang tinggal disana berpindah agama atau pergi. Keluarga Sayyida al-Hurra melarikan diri ke Maroko karena takut akan apa yang terjadi pada umat islam di Granada. Sebelum mengungsi ke Maroko, Sayyida al-Hurra yang saat itu masih muda menyimpan dendam bahwa suatu saat ia akan dituntut atas jatuhnya Granada.
Keluarga Sayyida al-Hurra memulai hidup baru di kota Tétouan, Maroko. Kota ini dulunya adalah kota yang sangat indah sebelum dihancurkan oleh Raja Castille, Henry III pada tahun 1400. Kota Tétouan dibangun kembali oleh para pengungsi Andalusia. Ayah Sayyida al-Hurra sangat berpengaruh di kota ini dan dianggap sebagai salah satu orang hebat di Tétouan. Posisi kota yang dekat dengan laut mediterania ini sangat strategis. Sejak kecil, Sayyida Al Hurra adalah orang yang cerdas dan mendapat pendidikan yang berkualitas dari keluarganya sehingga ia unggul dalam bahasa, termasuk Kastilia dan Portugis, serta teologi dan matematika. Masa kecil Sayyida al-Hurra berlalu sangat damai disana, tetapi ia tetap ditandai sepanjang hidupnya dengan pengasingan paksa ini.
Sayyida al-Hurra menikah pada umur enam belas tahun dengan seorang teman ayahnya, Pangeran Tétouan Ali al-Mandiri, yang tiga puluh tahun lebih tua darinya. Sang pangeran pun sangat terkesan dengan kecerdasan dan keterampilan diplomatiknya, dia segera mengangkatnya menjadi wakil bupati. Bersama-sama mereka mengubah Téoutan menjadi kota metropolitan yang ramai. Sayyida al-Hurra banyak membantu suaminya dalam mengatur urusan kota Tétouan sehingga masyarakat di kota tersebut sangat senang berurusan dengannya. Karena posisi Kota Tétouan yang dekat dengan Laut Mediterania, selalu menjadi incaran angkatan laut Spanyol dan Portugis. Namun Sayyida al-Hurra berhasil menghadang serangan yang dilakukan musuh.
Pada tahun 1515, suami Sayyida Al Hurra meninggal dan dia melanjutkan tugas suaminya sebagai Gubernur Kota Tétouan. Sebagai seorang gubernur perempuan, kepemimpinan Sayyida sungguh mengagumkan. Dia bahkan mendapat pujian dari Ratu Spanyol Isabella sebagai perempuan Andalusia yang kuat. Karena kebijaksanaan, keberanian, dan kecantikan Sayyida al- Hurra, Sultan Maroko, Ahmed al-Wattasi, yang memerintah dari kota Fez, ingin menikahi wanita hebat ini.
Sayyida Al Hurra setuju untuk menikah dengan Sultan Maroko tetapi dengan syarat dia akan terus memerintah kota Tétouan dan melanjutkan perjuangannya melawan tentara Spanyol dan Portugis. Sultan menyetujui persyaratannya dan mengizinkannya untuk terus memerintah kota Tétouan. Dibawah kepemimpinan Sayyida al-Hurra kota Tétouan sangat Makmur dan berkembang pesat.
Sayyida memiliki keinginan untuk menaklukkan kembali tanah kelahirannya yang saat itu dikuasai oleh Spanyol. Ia mencari cara bagaimana strategi untuk merebut kembali wilayah Andalusia. Ia pun kemudian menemukan bahwa pertarungan laut adalah salah satu cara paling efektif untuk merebut Andalusia.
Sayyida al-Hurra berkenalan dengan Oruç Reis, yang dikenal di Barat sebagai Barbarossa. Oruç Reis dan kakak laki-lakinya adalah bajak laut terkenal. Mereka bergerak di sekitar Laut Mediterania sebagai anggota yang disebut corsair Barbary dan pelayan sultan Ottoman. Bergabung dengan bajak laut terkenal ini membuat Sayyida al Hurra mendapatkan gelar “Ratu Bajak Laut”
Sayyida berusaha menguasai salah satu jalur laut Eropa dan Timur Tengah dengan membentuk aliansi bersama Barbarossa. Dalam aliansi tersebut, ia sepakat bahwa pihak Barbarossa akan menguasai wilayah timur laut Mediterania. Sedangkan dirinya akan menguasai wilayah sebelah barat. Sejak saat itu, Sayyida menjadi Ratu Bajak Laut yang paling ditakuti pada abad ke -16. Dengan angkatan lautnya yang hanya terdiri dari prajurit, dia menangkis serangan Spanyol dan Portugis yang agresif yang ingin menjajah negara asalnya yang baru. Sejak saat itu Sayyida al-Hurra menjadi penguasa sekaligus pemimpin bajak laut yang tak terkalahkan di wilayah Mediterania Barat.
Namun, seperti pada umunya seorang penguasa, Sayyida pun tak lepas dari gelimangan uang dan permainan politik. Kebesaran namanya pun harus tumbang. Pada bulan Oktober 1542 pemerintahan Sayyida al Hurra sebagai gubernur Tétouan berakhir ketika dia digulingkan oleh menantunya, Muhammad al-Hassan al-Mandri. Ada beberapa keluhan tentang pertengkarannya yang terus-menerus dengan gubernur Ceuta di antara warga, dan fakta bahwa Ceuta memutuskan hubungan ekonomi merugikan para pedagang di Tétouan. Muhammad al-Hassan al-Mandri melihat itu sebagai kesempatannya untuk mengakhiri pemerintahannya dan menggantikannya. Dia pensiun ke Chefchaouen, tempat dimana ia meninggal pada 14 Juli 1561. Sayyida al-Hurra adalah tokoh perempuan Islam terakhir yang menyandang gelar “al-Hurra”, juga berarti bahwa Sayyida adalah perempuan yang tidak tunduk pada otoritas manapun.