PPI TUNISIA

Hidup Santuy Ala Stoa

Sumber gambar : https://pin.it/2qICIGZ

Hidup Santuy Ala Stoa

Oleh: Naufal Sholahuddin

            Bukan hidup namanya kalau tidak ada masalah, kalaupun kita pergi menghindar darinya, sejatinya kita hanya lari dari satu masalah ke masalah lainnya. Ketika hidup tidak berjalan sesuai dengan keinginan kita, seperti dicampakkan oleh kekasih, lalu berkeinginan untuk mengakhiri hidup, bukannya menyelesaikan masalah tetapi hanya menimbulkan masalah baru yang lebih besar. Para filsuf Stoa telah memberikan kita solusi atas segala masalah yang kita hadapi di kehidupan ini, secara garis besar dan yang paling terkenal dari ajaran mereka yaitu dikotomi kendali.

            Sebelumnya perlu diketahui, siapa sih sebenarnya filsuf Stoa itu? Sengaja penulis tidak menyinggung tentang filsafat di awal, karena filsafat dibenak mayoritas pembaca adalah suatu bacaan yang rumit dan sulit untuk dipahami. Namun, menarik untuk dibahas bahwa sejatinya filsafat sendiri ialah suatu metode kerangka berpikir untuk melatih pemikiran kita agar dapat mudah memahami suatu konteks pembahasan. Secara terminologis, istilah filsafat diartikan sebagai suatu “asas atau pendirian hidup”. Penulis di sini ingin menawarkan filsafat yang seperti itu, kita akan menyelam bersama dalam filsafat stoa atau yang dikenal dengan filsafat stoikisme (stoicism).

            Disebut stoikisme atau stoa dinisbatkan kepada Stoa Poikile, yang merupakan suatu teras tempat para guru mengajari muridnya di salah satu alun-alun di kota Athena. Lalu orang-orang yang belajar di teras tersebut disebut kaum stoa. Stoikisme dipelopori oleh filsuf Yunani yang bernama Zeno, sebelum disebut kaum stoa mereka disebut Zenonian karena merupakan murid dari Zeno. Lalu setelah itu dikembangkan di Romawi oleh Senecca Epitectus dan Marcus Aurelius.

            Filsafat stoikisme ini mulai berkembang lagi khususnya di Indonesia sejak 5 tahun belakangan. Sudah banyak dari kalangan para Content Creator atau Influencer yang membahas tentang filsafat stoikisme di kanal youtube mereka, seperti Ferry Irwandi, Satu Persen, Ustadz Fahrudin Faiz, dan masih banyak lagi. Dan salah satu buku karangan Henry Manampiring yang cukup memantik untuk kita kembali mengkaji filsafat ini yaitu yang berjudul “Filosofi Teras”. Di dalam buku itu dijelaskan bagaimana stoikisme dapat membuat kita bisa melatih mengendalikan emosi kita. Lantas bagaimana metode yang ditawarkan oleh stoikisme dalam menghadapi rumitnya masalah kita?

“Berikan saya ketenangan untuk menerima apa yang tidak bisa saya ubah, keberanian untuk mengubah apa yang bisa saya ubah, dan kebijaksanaan untuk tahu perbedaan antara keduanya” – Reinhold Nieburh.

            Bertolak dari kutipan Reinhold Nieburh di atas, bisa kita sederhanakan bahwa ada kendali yang bisa kita kendalikan, dan ada kendali yang tidak bisa kita kendalikan, inilah yang dinamakan dikotomi kendali. Seringkali kita overthinking terhadap pandangan orang kepada kita, apakah kita baik dipikiran mereka? Apakah mereka suka dengan kita? Apakah mereka membicarakan tentang kita ketika di belakang kita? Pikiran seperti itu sering terlintas di benak kita, dan filsafat stoikisme tidak menjanjikan pikiran itu akan hilang, namun dengan stoikisme kita akan merasa lebih lega menerima segala keresahan tersebut, lantas bagaimana bisa?

            Dikotomi kendali pada pembahasannya mudah sekali untuk dipahami, namun dalam praktiknya tidak sedikit dari kita yang kurang terlatih dalam mengendalikan respon atau emosi kita terhadap suatu kejadian atau masalah yang kita hadapi. Dalam pembagiannya, kendali yang bisa kita kendalikan sesempit pikiran dan tindakan kita, selebihnya bukanlah kuasa kita. Persepsi orang lain terhadap kita, terjebak macet di perjalanan ke kampus atau tempat kerja, lagi jalan ke kampus tiba-tiba hujan dan jadi basah kuyup karena tidak membawa payung, hal-hal demikian terjadi di luar kuasa kita, seorang stoik tidak memusingkan hal-hal seperti itu. Justru sepatutnya kita memikirkan hal-hal positif yang bisa kita lakukan ketika tertimpa hal demikian.

            Ketika orang-orang memiliki persepsi buruk tentang kita dan sampai ke telinga kita bahwa kita memiliki perilaku buruk, hal yang bisa kita lakukan hanyalah memperbaiki perilaku tersebut, dan ketika kita sudah berusaha berubah menjadi versi yang lebih baik, fokus pada tujuan utama kita berubah, adalah untuk diri kita sendiri bukan orang lain, dengan begitu cibiran orang tentang perubahan kita tidak akan pernah menghantui pikiran kita.

            Ketika terjebak macet di saat perjalanan ke kampus, tidak ada gunanya kita mengomel sana sini agar kemacetan lekas teruraikan, namun bisa kita manfaatkan waktu menunggu tersebut untuk murojaah atau mengingat kembali pelajaran-pelajaran kampus. Atau bisa menjadi koreksian diri, agar bangun lebih pagi dan bisa berangkat lebih pagi lagi agar tidak terjebak macet. Kalau kita mencoba berpikir lebih luas lagi, lebih indah bukan? Begitupun contoh ketiga, sebaiknya kita sedia payung sebelum hujan.

            Manusia diciptakan secara istimewa oleh Sang Pencipta, kenapa demikian? Karena manusia memiliki sesuatu yang tidak dimiliki makhluk lain dari ciptaan-Nya yaitu akal. Nalarlah yang membedakan kita dengan makhluk hidup lainnya, jikalau kita menyianyiakan keistimewaan tersebut tidakkah kita bersyukur? Maka dari itu secara umum filsafat mengajak kita agar senantiasa memainkan peran nalar kita dalam kehidupan sehari-hari.

            Dan seringkali kita terjebak larut dalam masa lalu yang kelam, mengkhawatirkan masa depan yang belum pasti datangnya, padahal kita hidup di masa kini, jalani apa yang ada di depanmu. Melansir dari buku karangan Marcus Aurelius yang berjudul ”Meditations” ia menyebutkan:

Tidak ada yang akan pernah kehilangan masa lalu maupun masa depan: jika seseorang tidak memiliki sesuatu, bagaimana ia bisa kehilangan sesuatu yang tak pernah ia miliki itu” -Marcus Aurelius

            Di dalam smartphone yang kita pakai sekarang untuk membaca tulisan ini, terdapat sesuatu yang dinamakan Operating System. Yang mana apabila sistem tersebut bekerja dengan baik sebagaimana mestinya, dapat menstabilkan kerja aplikasi-aplikasi yang terdapat di smartphone tersebut. Henry Manampiring sebagai penulis buku “Filosofi Teras” menyebutkan dalam salah satu webinarnya bahwa, filsafat stoikisme merupakan Operating System hidup kita, sementara karir, jodoh, pekerjaan dapat dianalogikan sebagai aplikasinya. Jika kita memainkan peran metode sistem tersebut dengan bijaksana, atau sederhananya dalam menghadapi persoalan karir yang tidak kunjung sukses, hilal jodoh yang belum terlihat, bahkan pekerjaan kita yang terasa sangat berat, kita dapat memandang dengan kacamata yang lebih luas bahwasanya kita diciptakan memanglah untuk capek dan untuk menghadapi masalah. Bahkan suatu ketika salah satu dari 4 Imam Madzhab terbesar yaitu Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah pernah ditanya: “Wahai Imam, kapankah waktu istirahat itu?” Beliau menjawab: “(istirahat yang sesungguhnya ialah) pada saat engkau pertama kali menginjakkan kakimu di dalam Surga.”

            Stoikisme bukan tentang sekedar materi yang dibaca, melainkan pengaplikasian di kehidupan nyata. Mengutip juga dari Romo Setyo Wibowo di salah satu webinarnya: Di dalam stoikisme itu ada “tahu” lalu kemudian “laku”. Yang mana ketika kita sudah mengetahui apa yang perlu kita kerjakan, ya “laku”kan.

            Kesimpulan yang bisa kita petik dari opini singkat ini adalah bahwasanya kita berada di alam-Nya, yang mana kita tahu semua terjadi atas kehendak-Nya, tetapi bukan berarti kita duduk diam menantikan kematian kita, agama maupun filsafat stoikisme selaras mengajak kita untuk berusaha semaksimal mungkin, lalu hasil apa yang kita upayakan kita pasrahkan bagaimana alam bekerja. Syeikh Thahir ibn Asyur pun menyebutkan dalam muqaddimah dari kitabnya yang berjudul Maqashid al-Syari’ah al-Islamiyah,“Sesungguhnya tidaklah Allah menciptakan segala sesuatu secara sia-sia”.

Wallahu a’lam bisshawab

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *