
Istilah kosmopolitanisme bukanlah istilah yang baru-baru saja muncul, istilah tersebut sudah muncul pada era Yunani Kuno. Pandangan kosmopolitanisme yang lebih aktual kembali muncul pada abad ke-16 sampai abad ke-18 di tengah kondisi perang antar negara.
Bumi Tunisia sudah bersentuhan dengan ajaran islam sejak lebih dari seribu empat ratus tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 34 H, ketika sahabat Utsman bin Affan mengirim Muawiyah bin Hudaij bersama pasukannya untuk memperluas wilayah Islam ke Afrika Utara. Saat itu, pesisir pantai Afrika Utara dikuasai oleh Byzantium, sedangkan wilayah lainnya dikuasai oleh pasukan suku Barbar.
Jika kita melihat dari pusat kota Tunis, terdapat beberapa situs penting mulai dari masjid Zaitunah sebagai titik sentralnya, setelah itu akan ada sebuah benteng bernama “Bab Bahr”. Benteng tersebut dulunya difungsikan untuk menjaga wilayah Tunisia dari serangan musuh. Jika dilihat lebih detail, posisinya berada sejajar dengan monumen patung Ibnu Khaldun dan Monggela (sebuah jam gadang raksasa) yang ada di pusat kota.
Kemudian, jika terus berjalan menyusuri arah kiri dari Masjid Zaitunah, akan menjumpai makam Ali bin Ziyad. Ia adalah seorang ulama yang pertama kali membawa mazhab Maliki ke Afrika Utara. Selain itu, terdapat juga rumah sakit Aziziah Utsmanah, bekas peninggalan Dinasti Utsmaniyah yang dibangun oleh seorang perempuan dari uang pribadinya untuk kepentingan masyarakat.
Tata letak serta banyaknya warisan sejarah di kota tua, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelancong. Terbukti, hampir setiap hari kota tua ini dikunjungi oleh sejumlah wisatawan asing yang berasal dari berbagai penjuru dunia. Kebersihan area ini cukup terjaga sebab setiap malam, kota tua ini dibersihkan oleh para petugas kebersihan.
Kekayaan warisan sejarah islam di kota tua ini tidak terlepas dari eratnya hubungan masyarakat dengan peradaban Islam. Di mana, Tunisia telah sejak lama dikuasai oleh banyak dinasti Islam yang berbeda-beda seperti: Aghlabiah, Hafsiyah, Husainiyah, Muradiyah dan lain sebagainya. Setiap dinasti memiliki ciri khasnya masing-masing sehingga membuat negara Tunisia menjadi melimpah akan nuansa sejarah Islam.
Pada masa itu, hidup di dalamnya bangsa Yahudi dan Islam secara berdampingan. Ada sosok Sidi Mahrez yang dijuluki “Bapak Yahudi” karena memberi tempat untuk bangsa Yahudi di kota tua Tunis, sampai-sampai mereka juga memiliki bahasa Arab Yahudi Tunisia, atau juga dikenal sebagai bahasa Arab Djerba. Bahasa ini dituturkan oleh orang Yahudi yang tinggal, atau sebelumnya pernah tinggal di Tunisia, dan mereka generasi tua Yahudi. Adapun generasi muda hanya memiliki pengetahuan pasif mengenai bahasa ini.
Kota tua Tunis era sekarang, tumbuh bersamaan dengan adanya masjid dan pasar. Banyak orang-orang yang sibuk beribadah dan juga berjualan. Bahkan di bulan Ramadhan, kita dapati masjid-masjid penuh dengan orang yang melaksanakan tarawih. Begitu pula kafe-kafe penuh dengan orang yang menikmati kopi.
Interaksi antar masyarakat (Hablu min al-Nas) di Kota Tua Tunis dan hubungan dengan Allah (Hablu min Allah) terbilang cukup seimbang. Antara modernitas dan spiritualitas berjalan beriringan. Tentu, ini menunjukkan bahwa adanya penerapan nilai kosmopolitanisme di Kota Tua Tunis. Kosmopolitanisme juga sebagai bentuk implementasi dari salah satu teori ulama sosiologi terkemuka Tunisia Ibnu Khaldun, mengatakan “al-Insan Madaniyyun bi al-Tab’i“, hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Suatu umat yang memiliki keluasan wawasan dan pandangan dalam keterbukaan sikap untuk ekspresi budaya bersama, toleransi, moderat dan responsif terhadap perubahan dan perkembangan zaman global.