PPI TUNISIA

Mempertemukan Islam dan Feminisme Melalui kacamata genealogi

Mempertemukan Islam dan Feminisme Melalui Kacamata Genealogi

Review buku oleh : Muhammad Yusril Muna

Judul : Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia

Penulis : Etin Anwar

Penerbit : Mizan, Bandung

Tahun terbit : 2021

Tebal : xii + 320 halaman

ISBN : 9786024412272

Isu yang berkaitan tentang feminisme maupun kesetaraan gender adalah isu yang lagi ramai dibicarakan. Isu yang mencoba menyamakan kedudukan serta hak antara lelaki dan perempuan yang lahir sebagai sebuah gerakan, aksi dan pemikiran yang lahir dari reaksi terhadap dominasi kaum pria yang dianggap menindas dan membatasi potensi peranan kaum perempuan yang hanya terkurung dalam urusan rumah tangga.

Wacana feminisme kian semakin hangat. Seringkali feminisme itu diwacanakan dengan apakah Islam kompatibel dengan feminisme? Apakah feminisme bisa menjadi bagian dengan islam?. Feminisme menarik perhatian bukan hanya bagi kaum perempuan barat saja, akan tetapi banyak dikaji oleh beberapa tokoh, seperti : Buya Husain Muhammad, Amina wadud, Etin Anwar dan lain-lain. Gerakan feminisme mengilhami kesadaran sejumlah tokoh perempuan muslim untuk memperjuangkan kesetaraan gender dalam berbagai aspek. Etin anwar salah satunya, seorang tokoh perempuan yang sangat aktif menyuarakan gerakan feminisme lewat karya bukunya yang berjudul “A Genealogy of Islamic Feminism: Pattern and Change in Indonesia” atau yang diterjemahkan “Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia”.

Buku tersebut merupakan hasil riset yang ia tekuni lebih dari 10 tahun lebih. Berawal pada tahun 1990-an, saat itu ia terinspirasi dari Riffat Hassan, tokoh perempuan pakar teologi yang memberikan ceramah tentang “Kesetaraan dimata Tuhan, tapi tidak bagi kesetaraan laki-laki dan perempuan.” Hal itu merupakan sebuah statement yang bermuara dari wacana tentang feminisme Islam.

Etin Anwar sendiri merupakan tokoh perempuan kelahiran Tasikmalaya, Jawa barat pada 4 Agustus 1967. Ia merupakan seorang akademisi yang bermukim di negeri Pamansam. Seorang alumnus Perbandingan Agama IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung dan lulusan Magister dalam Studi Islam di Universitas McGill, Kanada. Ia berhasil meraih gelar Doktoralnya di Jurusan Filsafat Program Filsafat, Interpretasi dan Budaya di Universitas Birmingham, New York.

Lewat bukunya, Etin Anwar menggunakan pendekatan genealogi yang berusaha untuk memperlihatkan bagaimana hubungan Islam dan Feminisme, merekam proses tentang wacana bagaimana feminisme Islam itu muncul. Ia berusaha untuk memetakan pola-pola pertemuan seperti apa yang telah terjadi dalam diskursus Islam dan Feminisme. Sehingga, kontribusi buku tersebut mensistemisasi pertemuan antara Islam dan Feminisme.

Diskursus feminisme Islam itu muncul dari beberapa aspek. Diantaranya, muncul dari respon perempuan muslim terhadap wacana sosial dan politik terhadap negaranya masing-masing. Juga bermuara dari pengalaman perempuan, seperti ketidakadilan dalam keluarga, kekerasan seksual. Istilah feminisme yang memiliki arti beragam tidak mudah disatukan dalam satu kesatuan yang serasi. Hal tersebut tergantung bagaimana feminisme diartikan. Label “feminisme” yang identik dengan muslim sekuler dan dicurigai oleh kelompok anti-barat menjadikan definisi feminisme tidak seragam. Dengan pendekatan genealogi yang dipakai oleh Etin Anwar, buku ini berusaha untuk menyatukan dan mempertemukan antara Islam dan feminisme serta mencoba menyatukan kembali egalitarianism di dalam tradisi Islam.

Integrasi antara Islam dan Feminisme di Indonesia, Etin memberikan wawasan kebaharuan tentang transformasi hubungan antara Islam dan feminisme sejak era kolonial tahun 1900-an hingga awal 1990-an di Indonesia. R.A Kartini yang menjadi salah satu tokoh pelopor awal yang dipandang sebagai simbol pergerakan kaum feminis yang berjuang mengatasi bias gender di Indonesia. Ketokohan Kartini yang begitu kuat menjadikan hari perempuan diperingati setiap 21 April. Sejumlah tokoh Islam perempuan di Indonesia tercatat jugaikut aktif dalam pergerakan untuk memajukan kaum perempuan Islam, seperti Nyai Ahmad Dahlan maupun Rahmah El Yunusiah.

Dalam bukunya, ia membagi 5 fase sejarah perjumpaan gerakan perempuan dan Islam di Indonesia. Diantaranya: pertama, era emansipasi. kedua, era asosiasi dan politik emansipasi. ketiga, era pembangunan. Keempat, era integrasi. Kelima, era penyebaran dan bagaimana asal muasal transmisi feminisme Islam kemudian menjadi diskursus di Indonesia.

Buku ini menunjukkan perjalanan kelahiran feminisme Islam dari zaman ke-zaman yang telah berkembang sejak era kolonialisme hingga diskursus feminisme menjadi populer pada tahun 1990-an. Namun, terlepas dari kegigihan dan kesempurnaan penulis dalam mencerahkan wawasan tentang feminisme Islam. Ada beberapa yang menurut reviewer penting untuk ditambahkan, yaitu di bagian kolonialisme. Disana belum dijelaskan secara rinci, apakah pada saat kolinalisme penjajahan belanda mereka terdapat sisi pembelaan terhadap kaum perempuan atau tidak secara penuh adanya pembelaan.

Pada akhirnya, buku tersebut sangat otoritatif dan patut untuk dijadikan referensi penting dalam kajian feminisme Islam. Dilengkapi dengan wacana-wacana yang terkait dengan apa artinya menjadi seorang perempuan muslim dalam konteks kolonialisme dan postkolonialisme di Indonesia. Usaha perempuan muslim yang mencoba memperjuangkan kesetaraan mengenai keadilan gender secara lokal maupun global, kekuatan budaya asli dan asing mengenai peran gender, ideologi negara dan sebagainya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *