
Beberapa cendekiawan dan pakar politik mengatakan bahwa Indonesia dan Tunisia memiliki banyak kesamaan. Bukan menurut suku, budaya dan ras, tetapi dalam ranah politik dan kasus-kasus revolusi dengan latar belakang dan cerita yang mirip. Tunisia dengan Jasmine Revolutionnya, dan Indonesia dengan era Reformasinya. Dan keduanya sama-sama terjadi di masa presiden kedua, Soeharto dan Zine El-Abidine Ben Ali.
Bertahannya Soeharto sebagai penguasa selama 32 tahun bukanlah tanpa alasan. Di bawah kepemimpinannya, kehidupan masyarakat stabil dan mampu membawa Indonesia ke tingkat yang membanggakan. Ia banyak belajar dari pemerintahan sebelumnya dan mampu membenahi hal ini dengan baik.
Ben Ali datang pada masyarakat di negaranya sebagai seorang reformis, berbicara tentang membuka ekonomi dan membuat kemajuan menuju demokrasi. Ia menjadi pahlawan bagi warga Tunisia, yang memberikan citra buruk pada presiden pertama mereka, Borghiba.
Ia menghapus gelar presiden seumur hidup yang telah digunakan pendahulunya dan membatasi masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Ia juga meluncurkan inisiatif untuk memperluas jaringan jaminan sosial dan mempromosikan pendidikan dan hak-hak perempuan.
Sayangnya, meski sama-sama mulai membangun dan memperluas negaranya sendiri, Soeharto dan Ben Ali tidak pernah menerima kritik apapun dan menjalankan negara secara otoriter. Mereka bahkan tidak segan-segan mengotori tangan untuk membunuh demi menghancurkan seluruh bentuk kritikan. Ini membuat orang khawatir, karena baik di Indonesia maupun Tunisia, tekanan dari presiden mereka sendiri pun semakin meningkat setiap hari.
Pada saat itu keadaan perekonomian Indonesia sangat lemah dan memburuk sehingga menimbulkan ketidakpuasan masyarakat dan menimbulkan demonstrasi besar-besaran berbagai kegiatan mahasiswa di wilayah Indonesia. Kerusuhan-kerusuhan terjadi hampir di setiap daerah di Indonesia. Akibatnya, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto pun mendapat tekanan politik yang kuat di dalam dan luar negeri.
Sedangkan Tunisia mengalami pertumbuhan ekonomi yang luas dan dukungan dari lembaga internasional. Namun, ekspansi tersebut membuka jalan bagi korupsi, di mana kerabat Ben Ali disebut-sebut sebagai pihak yang paling diuntungkan. Orang Tunisia membencinya karena gaya hidupnya yang mewah dan promosi kerabatnya. Reformasi demokrasi yang dijanjikan oleh Ben Ali tidak pernah terjadi.
Seperti bom waktu yang akan meledak dengan menekan pemicu, pemerintahan mereka yang sudah di ujung tanduk tinggal menunggu momentum yang akan menjadi pemicu bom tersebut. Tragedi Trisakti pada Mei 1998 dan aksi bakar diri Desember 2010 menjadi momentum turunnya Soeharto dan Ben Ali dari jabatan presiden mereka.
Tragedi Trisakti adalah peristiwa di mana 4 mahasiswa dari Universitas Trisakti tertembak ketika melakukan unjuk rasa terhadap rezim Soeharto pada tanggal 12 Mei 1998. Akhirnya beliau mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 21 Mei dan diserahkan pada wakilnya, B. J. Habibie. Para mahasiswa yang menjadi korban tersebut dinobatkan menjadi ‘Pahlawan Reformasi’ dan diabadikan menjadi nama jalan di kampus Usakti, Nagrak, dan Bogor.
Sedangkan aksi bakar diri (self immolation) yang menjadi awal mula Revolusi Melati adalah bentuk keputusasaan seorang pedagang sayur bernama Bouzizi atas sikap represif dan ketidakadilan rezim Ben Ali. Dan aksi bakar diri Bouzizi di tengah keramaian ini membangkitkan semangat perlawanan tidak hanya di Tunisia, tetapi di seluruh negara Arab dan menjadi cikal-bakal ‘Arab Spring’.
Maka berakhirlah masa kepemimpinan Soeharto dan Ben Ali setelah puluhan tahun menjabat. Meski pemerintahan mereka dianggap otoriter dan diktator, kita tidak boleh melupakan jasa mereka yang telah membawa begitu banyak perubahan dan kebangkitan di Indonesia dan Tunisia.