
Di tengah peradaban islam, muncullah sebuah suku yang bernama suku ‘Âsyûriyah. Mereka hidup di sebuah kawasan Andalusia. sekitar tahun 1620 M mereka pindah ke kawasan maghrib sebelum akhirnya pindah lagi ke Tunisia pada tahun 1648 M. Dari suku ini, muncul seorang ulama yang menjadi tokoh di bidang ushul fiqh dan tafsir yang bernama Muhammad Thahir ibnu ‘Asyur.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Thahir ibnu Muhammad ibnu Muhammad al-Thahir ibnu Muhammad ibnu Muhammad al-Syadzuliy ibnu Abd al-Qadir ibnu Muhammad ibnu ‘Asyur. Ayahnya bernama Muhammad ibnu ‘Asyur dan ibunya bernama Fathimah binti al-Syeikh al-Wazir Muhammad al-‘Aziz ibnu Muhammad al-Habib ibnu Muhammad al-Thaib ibnu Muhammad ibnu Muhammad Bu’atur.
Muhammad Thahir ibnu ‘Asyur dikenal dengan Ibnu ‘Asyur. Ia lahir di Mursi pada Jumadil Awal tahun 1296 H atau pada September tahun 1879 M. Ibnu ‘Asyur lahir dari keluarga pencinta ilmu. Sejak kecil ia sudah mendapat berbagai ilmu agama seperti hadist dan balaghah dari kakeknya yang merupakan salah seorang syaikh di Bu’atur. Selain itu, kakeknya juga mengajarinya berbagai buku sastra dan badi’ serta mengajarinya bahasa prancis.
Kejeniusan Ibnu ‘Asyur sudah nampak sejak ia kecil. Pada usia enam tahun ia sudah mulai belajar di masjid Sayyidi al-Mujawar di Tunis. Di sana ia mulai menghafal dan mempelajari al-Qur’an kepada Syeikh Muhammad al-Khiyariy, dan mempelajari kitab Syarh al-Syeikh Khalid al-Azhariy’Ala al-Jurmiyah. Selain itu, ia diajarkan juga untuk menghafal kumpulan matan-matan ilmiah seperti matan ilmiah ibn ‘Asyir, al-Risalah dan al-Qathar. Beranjak pada usianya yang ke-14 tahun, Ibnu ‘Asyur melanjutkan pendidikannya di jami’ah al-zaitunah Tunis, Tunisia. Universitas yang menjadi lembaga pendidikan tertua yang didirikan di dunia Arab. Ia belajar di jami’ah ini selama 6 tahun.
Jami’ah al-zaitunah juga merupakan jami’ah yang memiliki manhaj moderat dan telah melahirkan tokoh moderat yakni Ibnu ‘Asyur. Hal ini, ditandai dengan pemikirannya tentang moderasi islam melaui karyanya yaitu Maqasid al-syari’ah al-islamiyah dan usul al-nidham al-ijtima’ fi al-islam.
Selain belajar di jami’ah al-zaitunah, Ibnu ‘Asyur juga aktif mengikuti majlis-majlis ilmiah bersama kakeknya. Diantara guru-gurunya adalah Syeikh Abd al-Qâdir al-Taimimiy, Muhammad al-Nakhliy, Syeikh Muhammad Shâlih, Syeikh Muhammad al-Najar, Syeikh Muhammad Thâhir Ja’far dan Syeik Muhammad al-‘Arabiy al-Dur’iy dengan mengkaji berbagai ilmu agama yang berbeda-beda.
“Salah satu hal terbesar yang dibutuhkan oleh universalitas syari’ah adalah bahwa aturannya sama untuk semua komunitas yang mengikutinya semaksimal mungkin, karena kesamaan dalam aliran aturan dan hukum adalah bantuan untuk mencapai kesatuan kelompok dalam masyarakat.” Kata ulama moderat tersebut dalam kitab maqasidnya.
Melalui perkataanya, Ibnu ‘Asyur mengklaim bahwa dasar syari’ah harus rasional dan toleran serta dapat di ikuti oleh semua umat dalam perkembangan zaman. Melalui karya-karyanya, Ibnu ‘Asyur berharap dapat relevan dengan dunia modern.
Ia dapat menjadi jembatan antara warisan hukum islam dan kebutuhan dunia modern. Kemudian dalam karyanya Ushul al-Nidham al-Ijtima’I fi al-Islam, Muhammad Thahir bin ‘Asyur terdapat empat pilar yang dapat digunakan dalam membangun peradaban, yaitu fitrah, moderasi, toleransi, dan kecermatan dalam memahami realitas.
Maka dari itu, pemikiran Ibnu ‘asyur yang luar biasa ini menjadi teori yang dibutuhkan dan dapat diimplementasikan oleh umat islam pada saat ini juga sebagai teori yang dapat memperkokoh gagasan moderasi beragama.