PPI TUNISIA

Wacana Kebangkitan Pelajar Indonesia Di Timtengka Lewat Simposium Kawasan

Kemerdekaan Indonesia sebagai negara berdaulat di kancah dunia tidak lepas dari peran pemuda dan pelajar yang bahu-membahu mewujudkan cita-cita bangsa untuk hidup dalam kebebasannya sebagai negara-bangsa. 

Gerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia terus bergejolak ditandai dengan diberlakukannya politik etis oleh imperialisme Belanda pada akhir abad ke-19, hasil dari politik etis itu memunculkan geliat perjuangan kemerdekaan Indonesia pertama kali, yaitu Budi Utomo yang berdiri pada 20 Mei 1908.

Politik etis sebagai upaya balas budi pemerintah Belanda kepada rakyat bumiputera yang telah diperas sedemikian rupa. Namun yang mengejutkan, program ini justru membuka kesadaran pribumi akan nasionalisme dan dorongan akan kemerdekaan Indonesia berkat terselenggaranya pendidikan bagi kaum pribumi.

Pendidikan inilah yang menjadi juru kunci kemerdekaan Indonesia dari penjajahan yang menindas kehidupan rakyat. Kesadaran pribumi terpelajar itulah yang kemudian mengilhami semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Masifnya pendidikan yang berlangsung di Hindia Belanda banyak melahirkan penduduk lokal terpelajar yang bersekolah di berbagai sekolah Belanda. Pada tahun 1900 terdapat 101.003 pribumi yang mendaftar di berbagai sekolah, satu dekade kemudian, jumlahnya meningkat drastis menjadi 310.494, hingga puncaknya pada tahun 1920. Terdapat 829.802 pelajar pribumi yang bersekolah berkat pemberlakuan politik etis Belanda. (Paul W. Van der Veur, 1969:7)

Di sisi lain, pendidikan agama Islam di pondok dan surau surau sudah jauh lebih lama berdiri dan tetap tumbuh sebagai suatu identitas keagamaan tradisional Indonesia, sejak 1873, kantor inspeksi pendidikan pribumi (yang didirikan J.A. van der Chijs) mengeluarkan laporan tahunan mengenai jumlah sekolah dan siswa Islam, berdasarkan laporan tersebut, jumlah pesantren dilaporkan tidak kurang dari 20.000, sementara jumlah siswanya berkisar 300.000 siswa.

Gerakan pendidikan keagamaan ini yang selanjutnya menjadikan Haramain (Makkah dan Madinah) sebagai tujuan pendidikan keagamaan rakyat pribumi tingkat lanjut, perjalanan mereka ke tanah haram tidak hanya bertujuan menjalankan ibadah haji, tetapi juga menimba ilmu keagamaan. Diantara figur Hindia penting di Haramain pada abad ke-19 adalah Muhammad Arsjad al-Banjari (1710-1812), Muhammad Nawawi al-Bantani (1815-1898), dan Syaikh Achmad Khatib (1860-1916).

Pada akhir abad ke-19, jaringan ulama internasional (termasuk ulama Hindia yang menimba ilmu di Timur Tengah) ternyata terpengaruh oleh ideologi “reformisme Islam” yang dibawa oleh Jamaluddin Al Afghani, dia dan rekan-rekannya berkeyakinan bahwa mereka harus menentang kolonialisme yang kian hari kian mencekik rakyat pribumi.

Pada beberapa dekade berikutnya, daya tarik Al Azhar sebagai salah satu Universitas tertua dunia menjadikannya tujuan pendidikan keagamaan rakyat pribumi Hindia kala itu, semangat anti imperialisme yang digaungkan oleh Jamaluddin Al Afghani dan Muhammad Abduh menarik perhatian jaringan ulama Hindia untuk ikut bersekolah di Al Azhar.

Selain terpengaruh oleh semangat reformisme Islam, jaringan cendekia muslim internasional timur tengah juga mulai terpengaruh oleh gelombang “modernisme Islam” yang digaungkan oleh kelompok Ottoman Muda di Turki pada 1860-1870an dan menyebar ke bagian dunia muslim lainnya.

Dua semangat anti kolonialisme dan pembaharuan inilah yang dibawa cendekia muslim Hindia selama pengembaraan keilmuannya di Timur Tengah ke Nusantara. Gelombang semangat ini yang selanjutnya membentuk gerakan sosial-politik di kalangan muslim Hindia.

Perhimpunan pelajar Hindia atau Melayu di Timur Tengah membuahkan permata berharga bagi kemerdekaan Indonesia di masa perjuangan perebutan kekuasaan dengan para penjajah.

Andil para intelektual muslim Hindia di Timur Tengah terasa sangat berharga bagi kemerdekaan Indonesia dan keberlangsungan pemerintah Indonesia di awal awal kemerdekaannya dengan mengisi pos-pos penting dalam pembangunan sebuah bangsa.

Dengan begitu maka sejatinya trah kebermanfaatan dan andil kaum terpelajar muslim Nusantara memiliki potensi besar dalam membangun Indonesia, semangat tersebut seyogyanya terus menjadi ruh pelajar di Timur Tengah dalam gotong royong membangun negeri.

Pengembaraan keilmuan yang dilakukan oleh kaum terpelajar muslim Indonesia di tanah rantau bukanlah guna mengadopsi kebudayaan bangsa arab dalam konteks Indonesia, sebaliknya, keilmuan yang digali haruslah menjadi inspirasi (hal-hal positif) yang ditularkan dalam konteks keindonesiaan.

Selanjutnya, kontekstualisasi keilmuan tersebut menjadi angin segar bagi kemajuan bangsa, menjadi tambahan perekat persatuan Indonesia, dan menjadi penopang keadilan sosial rakyat Indonesia.

Simposium Kawasan Timur Tengah dan Afrika yang akan dilaksanakan pada tanggal 17-21 Juli 2023 di kota Tunis, acara ini diharapkan dapat memberikan kesadaran genuine dan membangkitkan semangat nasionalisme pelajar Indonesia di Timur Tengah dan Afrika untuk mengabdikan diri pada bangsa dan negara.

Tema yang diangkat pada perhelatan kali ini adalah “Poros Global Moderasi Beragama Indonesia-Timur Tengah” yang diharapkan menghasilkan angin segar bagi bangsa dari pengalaman moderasi beragama di masing-masing tempat rantau.

Pada akhirnya, Simposium Kawasan ini bertujuan mengintegrasikan gerakan pelajar Indonesia di Timur Tengah dan Afrika, serta melahirkan gagasan segar untuk kemajuan bangsa lewat andil kaum terpelajar muslim Indonesia di Timur Tengah.

Ahmad Hashif Ulwan, Mahasiswa Universitas Az-Zaitunah Tunisia, Ketua Simposium Kawasan PPIDK Timtengka

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *