
Pagi hari matahari selalu membuatku bangun dari tidurku. Dengan sinar lembutnya yang menerpa wajahku, aku bangun dari ranjangku melipat selimut membereskan ranjang lalu ke kamar mandi untuk bersih diri. Itulah rutinitas yang selalu kulakukan sebelum pergi berjuang mewujudkan harapan-harapan yang membenani pundakku.
Aku keluar dari kamar melewati koridor seraya berharap lift tua berfungsi sebagaimana mestinya, tapi sudahlah aku tak berharap begitu besar, dugaanku benar lift itu mati selama 2 minggu terakhir. Dengan terpaksa, aku menuruni setiap anak tangga hingga sampai pada lantai 4.
Di sana, aku bertemu seorang anak yang kerap disapa dengan Ucil. Tubuh kecil dengan rambut ikalnya yang membuatnya seperti sedang membawa beban berat di atas kepala. Aku menyapa sambil melempar senyum kepadanya.
Dia bukan seorang anak seperti biasanya, dia harus memperjuangkan masa depannya. Pagi hari pergi sekolah sambil membawa barang dagang ke pasar, sepulang sekolah dia tak langsung balik ke kos dia membantu ibunya berjualan di pasar sebab ayahnya meninggal sejak berumur 3 tahun. Malang sekali anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu.
Aku terus menuruni anak tangga hingga sampai lantai 3. Seorang bapak di atas kursi roda selalu menarik perhatianku. Namanya Pak Opek, tak pernah sepatah keluar kata dari mulutnya. Merenung sambil menatap tangga seraya berharap kedatangan seorang.
Konon katanya, dia menunggu kedatangan anaknya yang merantau jauh, padahal jasad anaknya sudah dikebumikan karena tragedi lakalantas. Begitulah realitanya, tapi dia tetap percaya karena dia mengirim surat dan berjanji akan kembali pulang kala fajar menyambut.
Kakiku terus melangkah sambil mengeluh capek karena tiap hari harus menuruni tangga sebab lift tua yang tak kunjung berfungsi. Sampai di lantai 2, aku terkejut karena banyak sekali lalu lalang manusia, terlebih lagi di depan kamar Bang Ari, dia seorang nokturnal tidur di pagi hari dan begadang semalaman sambil bermain remi di warung depan kos.
Aku berjalan ke kamar Bang Ari dan siapa sangka penyebab keramaian tersebut ternyata kematian istrinya yang belum genap perkawinannya setahun. Dia sangat terpukul atas kematian istrinya aku sangat ingin menghiburnya tapi waktuku terbatas, aku harus pergi ke kampus untuk menghadapi ujian semester.
Sesampainya di lantai dasar aku sadar bahwa aku harus mewujudkan harapan-harapan orang terdekatku tanpa perlu banyak mengeluh agar tak lupa cara bersyukur.