
Konservasi lingkungan binaan dan warisan budaya telah menjadi sangat penting di sebagian besar negara dunia Islam di mana lanskap fisik dan sosial telah mengalami perubahan cepat dalam beberapa dekade terakhir. Kerusakan normal pada struktur perkotaan telah dipercepat oleh tekanan populasi yang lebih besar dan layanan yang buruk.
Sudah cukup jelas bahwa, strategi untuk memulihkan dan merehabilitasi satu bangunan atau bahkan sekelompok bangunan tidak memadai bila diterapkan pada lingkungan binaan. Harus ada keputusan administratif besar yang ditegakkan selama periode waktu tertentu, juga kemauan kolektif dan basis ekonomi yang layak untuk melestarikan dan memelihara lingkungan yang istimewa.
Sidi Bou Said adalah lingkungan yang istimewa. Di tingkat kota dan nasional, keputusan-keputusan telah dibuat untuk melindunginya. Sebuah desa kecil yang bertengger di puncak tebing yang menghadap ke Mediterania. Jalan-jalannya yang sempit, dipenuhi dengan rumah-rumah bercat putih-biru dan ditanami pepohonan, semak belukar, dan tanaman merambat yang menyegarkan di banyak tempat, menjadi semakin signifikan karena minimnya gangguan dari abad ke-20. Desa ini terletak di Tanjung Kartago, dekat situs klasik dengan nama yang sama, yang menghadap ke Teluk Carthage. Tunis, ibu kota Tunisia, terletak tidak jauh di sebelah selatan.
Dalam sejarah situs desa ini, telah ditempati selama ribuan tahun, seperti yang ditunjukkan oleh bukti-bukti arkeologis yang masih ada. Selama abad kesembilan, di bawah Dinasti Aghlabiyah, pesisir pantai Tunisia dibentengi di titik-titik strategis, termasuk Tanjung Kartago, yang sekarang dibangun sebuah ribat dan mercusuar (menara).
Kemudian pada abad ke-13 dan 14, dinasti Hafsiyyah menjadikan ribat sebagai pusat ke-Sufi-an Islam. Syeikh Abu Said Khallaffa bin Yahya al-Tamimi al-Baji (1156-1231) menetap di situs tersebut, sampai makamnya menjadi tempat ziarah utama. Pada abad ketujuh belas, pemukiman Sidi Bou Said (saat itu disebut Jebel al-Menar, atau Jebel al-Marsa) mulai berkembang dan sebuah pasar dibangun, terutama untuk melayani para peziarah yang semakin meningkat.
Pada abad ke-18, penduduk Tunis yang kaya, yang mencari gili-gili dari kota selama musim panas, menemukan iklim pantai yang menguntungkan. Para pejabat politik di Tunis, pengrajin dan pedagang kaya membangun tempat tinggal musim panas di desa ini. Beberapa di antaranya mengelompok di sekitar makam Abu Sa’id, sementara yang lain di daerah terbuka, tepatnya di tengah-tengah taman dan jalan.
Seiring berjalannya waktu, sebuah populasi layanan musiman, yang mengoperasikan toko-toko kecil dan kios-kios yang melayani para pengunjung di musim panas, mulai bermunculan. Pada pertengahan abad kesembilan belas, desa ini terkenal sebagai pusat keagamaan yang penting dan juga sebagai wisma musim panas yang bernuansa.
Pada akhir abad ke-19, desa ini ditetapkan sebagai Kotamadya Muslim dan secara resmi dinamai Sidi Bou Said. Pada waktu yang hampir bersamaan, desa ini menjadi pusat intelektual sepanjang tahun, dan menjadi objek wisata dan objek inovasi bagi banyak seniman dan cendekiawan asing. Di sini, jauh dari pengawasan pemerintah yang tidak toleran, diadakan diskusi-diskusi tentang puisi dan khususnya musik.
Sebagai tanggapan atas masuknya penduduk yang lebih permanen dan pembangunan fisik yang menyertainya, pemukiman ini secara resmi dinyatakan sebagai desa pada tahun 1915. Dengan penetapan ini, dimulailah upaya hukum pertama untuk melestarikan warisan budaya dan arsitektur Sidi Bou Said yang unik.
Pada abad ke-20 telah menyaksikan pengakuan atas kualitas luar biasa dari Sidi Bou Said, pengakuan yang telah membantu mendorong kebanggaan dan minat untuk melestarikan karakteristik esensial desa. Bersamaan dengan pengakuan dari para peneliti dan cendekiawan, muncul pula pengakuan yang berbeda, sebagian besar dari pemerintah pusat, terhadap desa ini sebagai daya tarik wisata utama.
Sepanjang Pelestarian abad ini, banyak langkah penting telah diambil untuk memastikan kelangsungan hidup dari tatanan sejarah Sidi Bou Said. Sejak dekrit pertama tahun 1915 hingga rencana Pengelolaan tahun 1970-an, kota ini telah menjadi pusat perhatian di dunia Islam dalam menetapkan pedoman pelestariannya. Pada tahun-tahun awal abad ke-20, meningkatnya popularitas Sidi Bou Said mengancam bentuk bangunan dan karakter arsitektur desa tersebut. Melalui pengaruh Baron d’Erlanger, seorang pensiunan bankir, sebuah keputusan disahkan pada tahun 1915 yang dirancang untuk melestarikan keindahan desa tersebut dan memberikan pedoman untuk pertumbuhan dan perubahan. Secara khusus, teks tersebut menguraikan kebijakan tentang hal-hal berikut:
1. Modifikasi bangunan, dan memposisikan ruang publik; karakter dan tata massa bangunan baru; kewajiban pemilik terkait perbaikan dan restorasi; perizinan bangunan.
2. Rencana jalan. Karakter desa muncul dari pertumbuhan organik dari tempat tinggal yang bercampur dengan toko-toko dan bangunan bisnis lainnya, dengan masjid sebagai titik fokus.
3. Rencana penggunaan lahan saat ini Peningkatan nilai komplek baru-baru ini, erosi permukaan tebing desa, dan tekanan pembangunan yang sejalan dengan berkembangnya perdagangan wisata mengancam keseimbangan sosial dan integritas fisik masyarakat.
4.Peninggian sebagian jalan Menuju pasar.
Pendekatan yang ketat ini telah menjadi dasar hukum utama bagi pemerintah untuk mengendalikan struktur fisik kampung yang ada. Sejak diberlakukannya peraturan tersebut, telah terjadi beberapa perubahan signifikan. Terdapat beberapa bangunan telah rusak atau hancur karena ditinggalkan atau kurang perawatan.