PPI TUNISIA

KISAH KISRUH POLIGAMI DI TUNISIA

Tersebarnya berita bahwa pemerintah Tunisia mendorong warganya untuk berpoligami membuat geger masyarakat Indonesia. Kabar tersebut diperkuat dengan gambar surat yang disebut-sebut berasal dari pemerintah Tunisia. Di dalam foto tersebut juga terdapat sebuah dokumen yang bertuliskan huruf Arab, lengkap dengan stempel dan logo yang mirip dengan logo Pemerintahan Tunisia.

Sekilas memang terlihat meyakinkan, mengingat foto tersebut dilengkapi sebuah dokumen bertuliskan huruf Arab, lengkap dengan stempel dan logo yang diklaim mirip seperti logo Pemerintahan Tunisia. Namun berita tersebut sudah dipastikan merupakan berita yang keliru alias hoaks. Perlu diketahui, Tunisia merupakan negara berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Negara yang beribukotakan Tunis ini menjadikan Islam sebagai agama resmi negara. Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata, kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan.

Mazhab Hanafi yang membentuk minoritas kecil di Tunisia akibat adanya pengaruh kekuasaan Turki Utsmani, sampai protektorat Perancis datang pada tahun 1883 (John P. Entelis, 1991). Setelah merdeka pada 20 Maret 1956, pemerintah mendirikan komite di bawah pengawasan oleh Syeikh negara, Muhammad al-Ja’it, untuk secara resmi menyusun undang-undang. Syeikh Universitas Zaytunah, Tahir bin’ Ashur juga berpartisipasi dalam musyawarah komite. Komite disampaikan kepada pemerintah rancangan kode status pribadi. Itu akhirnya disahkannya undang-undang tersebut dengan nama Majallat al-Ahwal al- Syakhsiyyah (Kode Status Personal). Majallat itu sendiri mencakup materi hukum perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan ketetapan hukum Islam klasik.

Adapun latar belakang dibentuknya hukum keluarga ini antara lain :
1) Menghindari konflik antara Ulama dan pelajar bermadzhab Hanafi dan Maliki.
2) Penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada lagi perbedaan antara pengadilan agama dan pengadilan Negara.
3) Menetapkan undang-undang modern, sebagai referensi para hakim.
4) Menyatukan pandangan masyarakat sebagai secara keseluruhan sebagai akibat dari perbedaan dari sekolah klasik.
5) Memperkenalkan undang-undang baru sesuai dengan tuntutan zaman.

Dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan poligami dan keharusan perceraian di pengadilan (Kiran Gupta, 1992: 121). Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18 menyatakan: Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240 Dinar Tunisia (1,5 Juta Rupiah) atau kedua-duanya.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan Tunisia mengapa melarang poligami:
1. Institusi budak dan poligami hanya boleh pada masa perkembangan atau masa transisi umat Islam, tetapi dilarang pada masa perkembangan atau masyarakat berbudaya.
2 Syarat mutlak bolehnya poligami adalah kemampuan berlaku adil pada istri, sementara fakta sejarah membuktikan hanya Nabi saw. yang mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya.
3. Pemahaman agama masyarakat Tunisia tentang hukum Islam yang cenderung Taqlid dan Imam Madzhab memiliki posisi yang besar dalam masyarakat.
4.Budaya patriarkal masih mendominasi masyarakat Tunisia dan diskriminasi wanita serta ketidaksetaraan antara pria dan wanita. Adapun yang mengatakan tingkat perceraian di Tunisia tertinggi dibandingkan Negara Arab lainnya.

Dari beberapa pertimbangan diatas tidak terlepas pada salah satu metode pengambilan hukum pada madzhab Imam Malik yaitu maslahah mursalah (suatu maslahat yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil syara’, yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dhārurīyah (primer) maupun hajjīyah (sekunder)). Berbeda halnya pada madzhab Imam Syafi’i yang tidak menggunakan metode maslahah mursalah sebagai dalil hukum dan hujjah Syar’iyyah.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *