PPI TUNISIA

SAYYIDAH MANOUBIA, WALI PEREMPUAN PENJAGA KOTA TUNIS

Jika dalam banyak kajian keislaman, peran perempuan terhitung sangat sedikit dan ada semacam sekat yang membatasi ruang perempuan yang pada akhirnya produk hukum sering terkesan hanya memihak kaum Adam. Hal itu terbukti dalam khazanah fikih misalnya, hampir tidak ditemukan ulama perempuan. Maka, lain halnya dalam kajian tasawwuf, perempuan ditempatkan pada posisi yang setara dengan laki-laki, bahkan diistimewakan sebagaimana dalam pandangan Ibn Araby bahwa jika Allah bermanifestasi dalam manusia, maka manifestasi-Nya dalam perempuan lebih banyak dari pada dalam laki-laki, karena perempuan memiliki unsur keindahan dan kecantikan yang seakan saat ia dipandang, pada dirinya terdapat tanda keagungan dan sifat-sifat Allah seperti kasih sayang, lemah lembut dan keindahan.


Memang, terdapat perbedaan antara kaum perempuan dan laki-laki dalam kajian tasawwuf secara umum. Akan tetapi, ia tidak seperti yang tampak pada kajian keislaman lainnya. Jumlah tokoh perempuan shalihah atau wali perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki, terhitung cukup sedikit. Namun dapat dikatakan bahwa ajaran tasawwuf lebih terbuka terhadap peran dan kehadiran perempuan di dalamnya. Bahkan, secara jumlah ia telah melampaui secara kuantitas dan kualitas jika dibandingkan dengan mayoritas fuqaha.


Akan tetapi, menurut Murad Jaddiy, tubuh bagi perempuan menjadi penghalang dalam menggapai derajat kesalehan, dimana seorang perempuan harus berupaya ekstra untuk memaksa tubuh yang menjadi lambang kewanitaannya, mem-pressure dan membersihkannya dari apa yang tampaknya dapat membangkitkan gairah nafsu. Demikianlah, seorang perempuan shalihah akan tampil sebagai seorang wanita tua “yang kulitnya telah keriput menyatu dengan tulang dan dia hanya berpakaian dengan akhlak”, yakni ia menanggalkan semua tanda ke-feminim-an sehingga dia dapat mencapai derajat kewalian dan kesalihan. (Murad Jaddiy, at-Tadayyun as-Sufi fi Tab’atihi an-Niswiyyah wa Rihan an-Nau’ al-Ijtima’iy: Lala Maimuna Ramz as-Salah al-Untsawiy, Mu’minun bila Hudud, 16 November 2016)


Setiap kali pembicaraan tentang tokoh perempuan dalam kajian tasawwuf Islam, maka nama yang pertama kali muncul adalah Rabiah al-Adawiyah, yang merupakan sosok penting dalam sejarah tasawwuf, di mana menjadi titik tolak peralihan tasawwuf dari ajaran tentang zuhud menuju ajaran ‘isyq ilahi. Namun, Rabiah bukanlah satu-satunya perempuan yang mendalami satu bidang yang digeluti oleh kebanyakan dari kaum laki-laki ini. Sejarah mencatat ada banyak tokoh perempuan dalam tasawwuf di berbagai tempat dan masa, yang artinya kehadiran perempuan punya peran yang dinamis dalam bidang tasawwuf, yang sangat menarik bagi para peneliti untuk terus mengkajinya. Begitu pula di Tunisia, yang dikenal dengan sebutan Tunisia al-Mahrusa, artinya Tunisia dan khususnya kota Tunis dipercayai oleh masyarakatnya bahwa ia dijaga oleh para kekasih Allah dari empat penjurunya sehingga kota ini selalu aman dari bahaya dan krisis. Kalaupun terjadi krisis, itu tidak akan berlangsung lama, hal ini menurut kepercayaan masyarakat karena berkah dari para wali Allah tersebut. Mereka adalah Sidi Mahrez bin Khalaf (w. 413 H/1022 M), Sidi Abu Said al-Baji (551 – 628 H/1156 – 1230 M), Sidi Abu al-Hasan Asy-Syadzuli (593 – 656 H/1196 – 1258 M) dan Sayyidah ‘Aisyah al-Manoubia (589 – 665 H/1204 – 1266 M).


Pada tulisan kali ini akan membahas tentang Sayyidah Manoubia, perempuan shalihah yang dikagumi oleh masyarakat Tunisia, yang makam dan zawiyahnya selalu ramai dengan para peziarah yang berdatangan dari berbagai kota. Siapakah sebenarnya Sayyidah Manoubia, apa saja kiprah dan bagaimana dia bisa mencapai derajat kewalian dan dikagumi oleh masyarakat luas?


Pejuang hak-hak kaum perempuan
Sekitar abad 13 M, Sayyidah Manoubia hidup di kota Tunis pada era kekuasaan Daulah Hafsia. Ia adalah seorang perempuan yang haus akan ilmu dan kebebasan. Kisah hidupnya berlangsung selama tujuh puluh tahun mengiringi sejarah kota Tunis, yang saat itu merupakan ibu kota Ifriqia Hafsia (sebutan negara Tunisia pada masa daulah Hafsia).

kehidupan era daulah Hafsia


Pada era ini kehidupan patriarki benar-benar kental diterapkan oleh kerajaan. Sehingga, ruang gerak perempuan benar-benar dibatasi dan akan menjadi aib apabila ada perempuan yang ikut ‘nimbrung’ dengan hal-hal yang biasa didominasi oleh kaum laki-laki, termasuk dalam bidang pendidikan. Bahkan sampai pada abad 15 M pun belum dikenal istilah wanita pelajar dalam artian diperbolehkan aktif dalam pendidikan kecuali hanya untuk perempuan dari kalangan aristokrat dan bangsawan kerajaan saja. Akan tetapi, muncul pada abad 13 M ini seorang perempuan yang tampil ke permukaan, padahal ia bukanlah dari golongan aristokrat dan bangsawan, melainkan hanya seorang anak perempuan cerdas dari rakyat biasa yang muncul untuk mengambil bagian dalam ilmu dan kebebasan itu, dialah Sayyidah Manoubia.


Namanya adalah ‘Aisyah binti Abi Musa Imran bin al-Haj Sulaiman al-Manoubi dan ibunya bernama Fatimah binti Abd as-Sami’ al-Manoubi. Dia dilahirkan di Manouba, yang terletak di sebelah barat kota Tunis pada tahun 589 H/ 1204 M. Ia diajari al-Quran oleh ayahnya sampai dia menghafalnya. Ayahnyalah orang yang memerhatikan pendidikan Sayyidah Manoubia yang sejak usia belia sudah punya kecenderungan terhadap ajaran tasawwuf.
Sayyidah Manoubia adalah murid langsung dari Sidi Abu Said al-Baji (1230 M) dan Abu al-Hasan asy-Syadzuli (1258 M). Diantara sahabatnya yang selalu membersamainya saat berdzikir adalah Syaikh Utsman al-Haddad dan khadamnya adalah Muhammad bin Muhammad al-Arbadhiy.


Ia merupakan salah seorang tokoh perempuan cerdas yang gigih dan tidak ingin ada pembatasan gerak bagi kaum perempuan. Sampai suatu ketika, dikisahkan ada seorang faqih yang tidak disebutkan namanya, ia mengadukan Sayyidah Manoubia kepada Amir dan menuntut agar Sayyidah Manoubia dirajam karena ia telah banyak ikut berkumpul dalam majlis para laki-laki dan keluar rumah bebas tanpa ada kendali. Akan tetapi sang Amir, yang tidak lain adalah Abu Zakaria, menolak tuntutan dari faqih tersebut.


Penerus ajaran ‘isyq ilahi Sayyidah Aisyah Manoubia termasuk tokoh besar tasawwuf yang menyuarakan ajaran isyq ilahi sepertimana Rabiah al-Adawiyah, al-Busthami, al-Hallaj, Ibn al-Faridh dan ‘Abd al-Qadir al-Jailani. Hampir seluruh hidupnya disibukkan dengan “cinta ilahi”. Tampak dalam tutur katanya yang cenderung pada ungkapan cinta, fana’ dan mabuk cinta, seperti yang sering dia katakan, “ana sakrana tula hayatii” (aku mabuk selama hidupku). Dia juga berpendapat bahwa dzikir itu pada dasarnya adalah dengan hati. Seperti yang dia katakan, “tidak ada kebaikan pada dzikir dengan lisan sedangkan hatinya ghaib (tidak ikut berdzikir)”.


Yang menarik adalah ke-tasawwufan Sayyidah Manoubia ini sama sekali tidak melepaskan urusan duniawi. Bahkan, ia punya hubungan yang harmonis dan erat dengan kesibukan sosial sehari-hari, memenuhi dan membantu kebutuhan masyarakat sekitarnya. Hasan Husni ‘Abd al-Wahhab berkata, “diriwayatkan bahwa ketika pada satu malam di kantongnya masih ada satu dirham dan belum sempat ia sedekahkan, ia berkata: “malam ini ibadahku kurang sempurna”.


Saksi Sejarah Ada tiga tempat yang menjadi saksi terhadap perjalanan hidup yang ditempuh oleh Sayyidah Manoubia. Pertama adalah rumah tempat tinggalnya yang berada di Hay Manouba. Di sinilah ia menyaksikan ‘nur ilahi’, tempat tinggal dan di antara dinding-dinding rumah ini pula ia menghembuskan nafas terakhirnya, namun ia tidak dikubur di dalamnya. Yang kedua, bangunan monumen berkubah dan bermahkota yang ada di Hay Mounfleury A’la, sisi selatan kota Tunis. Monumen ini dibangun untuk mengenang tempat dimana ia berjalan melewatinya menuju bukit Zallaj, tempat ia berguru kepada Sidi Abu al-Hasan Asy-Syadzuli. Dan yang ketiga adalah makam sayyidah Manoubia yang berada di sisi barat laut Taman el-Gordjani yang disebut oleh sebagian ahli dengan sebutan “maqam sirr” atau makam rahasia.


Kecantikan dan kecerdasan Sayyidah Manoubia
Sayyidah manoubia ini punya paras yang cantik sebagaimana disifati oleh Sidi Abu al-Hasan Asy-Syadzuli, juga kecerdasan yang cemerlang serta kepribadian yang gigih. Syaikh Abu al-Hasan Asy-Syadzuli bercerita saat pertama kali bertemu dengan Sayyidah Manoubia di Maghar (tempat beliau beribadah di bukit Zallaj), “telah memerhatikanku seorang perempuan berparas cemerlang”.


Karena kecerdasan, kecantikan dan kepribadian yang kokoh inilah Sayyidah Manoubia mendapat perhatian dan penghormatan dari para ulama. Akan tetapi di waktu yang sama ada beberapa orang yang hasud dan membencinya. Sehingga Sayyidah manoubia memutuskan untuk pindah dari kota kelahirannya menuju kota Tunis.
Sayyidah Manoubia sangat fasih membaca al-Quran beserta pemahaman dan tafsirnya. Hal itu tidaklah mengherankan karena ia belajar dan menimba ilmu dari Abu Said al-Baji dan Abu al-Hasan Asy-Syadzuli, yang keduanya telah memberikan dan mengajarkan banyak tentang pandangan para pemikir dan para tokoh besar sufi.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Sayyidah Manoubia tidak akan sampai menjadi seorang tokoh perempuan yang bebas dan merdeka kalau seandainya tidak mendapat perlindungan dari pemerintah, yang saat itu dibawah pemerintahan Abu Muhammad Abd al-Wahid, yang berlangsung sampai sayyida Manoubia menginjak usia 24 tahun. Di masa-masa itu, beberapa tempat yang gemar ia singgahi adalah gunung Isykil, gunung Zaghouan, bukit Zallaj, makam Bani Khurasan, gunung al-Manar (Sidi Bou Said), dan masjid Safsafa. Di masjid Safsafa inilah Sayyidah menyampaikan pidato-pidatonya dengan bahasa yang memukau masyarakat umum.


Menolak menikah dan memilih jalan sufi
Sayyidah tidak dikarunia keturunan. Ia menolak saat sepupunya meminta untuk menikahinya. Ia mengorbankan kehidupan berkeluarga dan memilih untuk tidak menikah demi menempuh jalan sufi dan cinta ilahi. Setiap waktu dhuha, ia bermunajat kepada Allah swt., seraya berkata, ”Engkau wahai Pemberi petunjuk bagi orang-orang yang kebingungan. Engkau wahai Pemberi ketenangan bagi orang-orang yang ketakutan. Karuniakanlah kepadaku kemuliaan dengan melihat-Mu dan jadikanlah aku dapat menggapai yaqin akan wujud-Mu.”


Allah swt. mengabulkan doanya, dan sayyidah Manoubia pergi meninggalkan dunia yang fana ini di waktu dhuha pada bulan Rajab tahun 665 H atau bertepatan dengan bulan April tahun 1267 M. Ia dimakamkan di kota Tunis, tepatnya di barat laut taman Gordjani yang disebut dengan “maqam sirr” atau “madfan sirr” (makam rahasia), dan itu karena sayyidah Manoubia merupakan tokoh perempuan yang pemikirannya mengandung banyak rahasia yang terpendam. Wallahu a’lam

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *