PPI TUNISIA

The Power Of Habit; Mengobrak-abrik Kebiasaan Yang Berujung Kebinasaan

Ala bisa karena biasa” kata orang dulu. “Lancar kaji karena diulang pasah jalan karena diturut” dari kecil sering kita dengar. Awalnya kita membentuk kebiasaan, setelahnya kebiasaanlah yang membentuk kita. Kalahkan kebiasaan buruk anda atau mereka akan mengalahkan anda (Dr. Rob Gilbert).


Kebiasaan adalah hal dilakukan berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu secara terus-menerus. Kebiasaan menjadi sesuatu yang terprogram dalam otak manusia, maka jangan heran kalau terkadang kita melakukan hal jelek yang mungkin kita tidak ingin dan tidak kehendaki, alasannya simpel itu sudah terprogram, memang anda sudah biasa. Sama seperti kegiatan lain, sesulit apapun ia, seberat apapun di mata orang, jika sudah terbiasa pasti akan tergerak dengan sendirinya. Oleh sebab itu, sakit hati yang begitu nyeri pun jadi biasa, ketika sudah terbiasa. Kebiasaan atau dalam bahasa Inggris disebut habit memiliki pengaruh yang sangat dominan dalam pola hidup seseorang. Ia mampu mengarahkan kegiatan sehari-hari, cara pandang, pergaulan, bahkan nasib seseorang di masa yang akan datang. Bayangkan, nasib bisa ditentukan dari kebiasaan, apakah benar? Orang bijak berkata “jika anda hendak melihat seperti apa anda sepuluh tahun yang akan datang, periksalah apa yang anda baca sekarang, siapa teman anda sekarang, dan apa yang anda lakukan hari ini.”
Bagaimana Cara Kerja Kebiasaan?


Semua pecinta sepak bola pasti kagum dengan sosok Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi, mereka terlalu lincah dan piawai memainkan bola secara individu ataupun saat berebut bola dengan lawannya. Anda pecinta movie? Harusnya anda takjub dengan keterampilan bela diri Jackie Chan, Bruce Lee ketika memainkan laga dengan tangan kosong maupun dengan alat. Kita terbiasa memberikan reaksi “wow”, “hebat”, “kok bisa ya”, saat terpesona dengan keahlian yang dimiliki orang lain. Lalu kita memvonis bahwa tampilan itu adalah takdir, bahwa kita tidak mungkin bisa seperti mereka.


Sebuah buku berjudul The Power of Habit: Why we do what we do in life and business karya Charles Duhigg yang terbit tahun 2014 laku keras di pasaran. Bukan tanggung, buku ini menjelaskan dengan gamblang bagaimana cara kerja kebiasaan, pengaruhnya, dan cara mengatur kebiasaan tersebut. Kita tidak akan kupas buku ini terlalu jauh, namun kita akan ambil sedikit ulasan tentang cara kerja kebiasaan. Kebiasaan terdiri dari tiga tahap yaitu cue (petunjuk), reward (hadiah) dan loop (pengulangan). Contohnya adalah: ketika bangun pagi, seseorang langsung ke kamar mandi untuk mandi dan menggosok gigi. Disini dapat terlihat bahwa cue-nya adalah bangun, reward-nya adalah badan yang segar dan fresh setelah mandi. Apakah seseorang mandi hanya sekali seumur hidup? Tentu saja tidak. Setiap orang akan mengulangnya lagi setiap hari yang menjadi loop. Itulah dasar dari kebiasaan.


Karakteristik kebiasaan mengacu pada cara kerja otak. Pada awalnya, seseorang akan kesulitan mengkoordinasikan tangan untuk menggosok gigi. Pletat-pletot kesana kesini, kadang sikatnya nabrak idung kadang nyikat dagu. Namun seiring dengan waktu dan pengulangan, dapat dipastikan saat dewasa seseorang dapat menggosok gigi sambil cek whats app sebelum beraktivitas. Hal ini menandakan bahwa informasi yang diulang oleh manusia akan terekam di bagian basal ganglia. Ketika pola sudah disimpan, otak tidak memerlukan sejumlah usaha lagi  dan konsentrasi yang besar untuk melakukan sesuatu. Otak dapat melakukannya dengan autopilot dan seseorang bisa mengkonsentrasikan pikirannya untuk aktivitas lain. Sewaktu balita mungkin kita perlu konsentrasi khusus untuk makan, akan tetapi setelah terbiasa manusia bisa makan sambil nonton, main handphone, atau bahkan berkendara. Hal ini dikarenakan otak telah menghafal pola kerja makan sehingga tidak dibutuhkan fokus khusus dan tenaga ekstra untuk melakukannya. Yang menarik untuk direnungi adalah bagaimana jika rekaman itu berbentuk kegiatan-kegiatan positif? Otak kita merekam shalat berjamaah, membuka Al-Quran, membaca buku, dan aktifitas produktif lainnya, rasa-rasanya tidak ada kata malas dalam diri manusia, semua hanya karna belum terbiasa.


Kebiasaan berfungsi mengubah perilaku. Dengan melakukan hal-hal baik (meskipun sangat sederhana) secara rutin, maka seseorang akan menjadi terbiasa melakukan hal-hal baik secara ringan dan otomatis, dan otak tak lagi berpikir keras untuk itu, dan pada gilirannya orang bersangkutan menjadi orang yang berperilaku baik. Menurut Charles Duhigg, ketika suatu kebiasaan terjadi, otak berhenti berpartisipasi sepenuhnya dalam pengambilan keputusan, berhenti bekerja dengan keras, atau mengalihkan fokus ke tugas lain. Kebiasaan menjadikan segala sesuatu berjalan secara otomatis. Ketika sesuatu sudah berjalan secara otomatis di dalam diri manusia, maka otak tak lagi bekerja keras untuk sesuatu tersebut. Begitu penting peran kebiasaan bagi kehidupan seseorang sehingga perlu mendapatkan perhatian. Jadi, penting kiranya kita membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik dalam kehidupan kita, sehingga kita mendapatkan kehidupan yang baik.


Pandangan Islam Terhadap Kebiasaan
Rasa-rasanya mustahil jika Islam dengan ke-komperhensif-an ajarannya tidak menyinggung soal kebiasaan. Syariat Islam adalah ajaran yang syamil wa mutakamil, ya’lu wala yu’la alaih. Lewat ke-universal-an dalil, proses pen-syariatan, asbabun nuzul, dan berbagai macam teori ilmu agama sungguh Islam memberikan perhatian yang sangat akan urgensi kebiasaan. Islam diturunkan di tengah-tengah masyarakat Arab jahiliah bukan tanpa sebab, tentu ada hikmah besar di balik penurunannya. Masyarakat Arab sebelum turunnya Islam adalah sumber kebodohan, keterbelakangan, dan kegelapan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, Islam turun untuk merekonstruksi tatanan masyarakat yang sangat terbelakang menjadi umat yang dikenang zaman dengan tinta keemasan. Jika Islam turun di tengah masayarakat modern, tentu perubahan yang dihasilkan menuai pro dan kontra akan peran dan pengaruh ajaran tersebut. Tetapi jika Islam hadir di tengah-tengah bangsa yang sama sekali terabaikan dari peradaban, jelas ajaran Islam tersebut sumbernya.


Kemerosotan akhlak dan akidah yang telah berurat berakar selama ratusan tahun tidak dapat semata-mata dikelabuhi oleh janji sesaat. Berangsur-angsur adalah metode yang digunakan Nabi Muhammad SAW. dalam mendakwahi kaumnya. Dari mulai yang terdekat, diam-diam, sampai ke seantero Mekah. Jika ditelaah, ternyata sistem ini sama persis dengan prinsip kebiasaan yang sedang kita singgung barusan. Syariat Islam datang dengan membiasakan jiwa bangsa Arab yang terlanjur rusak sebelumnya. Pembiasaan tersebut membutuhkan waktu, sehingga mana kala jiwa sudah terbiasa, barulah ajaran-ajaran lainnya dengan gampang diterima. Kita tarik contoh dalam pengharaman khamar, Islam tidak semata-mata mengharamkan arak dengan satu perintah, karena tentu akan bertolak belakang dengan kebiasaan bansa Arab yang kemaruk mabuk. Maka Islam mengharamkan khamar sedikit demi sedikit, dari hal yang paling kecil, dimulai dengan mencela minuman keras, dilarang shalat ketika mabuk, sampai akhirnya diharamkan sepenuhnya. Semua ini bertujuan untuk membiasakan diri menerima pelajaran tersebut. Begitupun pelarangan riba, dan berbagai ajaran lainnya. Maka dari sini kita tarik kesimpulan bahwa ajaran Islam datang dengan metode pembiasaan dalam mengubah prinsip dan pandangan hidup pengikutnya.


Salah satu korelasi penting antara kebiasaan dan ajaran Islam adalah konsistensi atau dalam bahasa Arab disebut istiqamah. Istiqamah melahirkan kebiasaan, kebiasaan adalah buah dari istiqamah. Salah satu perintah Allah dalam Al-Quran “dan istiqamahlah kalian sebagaimana kalian diperintahkan” karena salah satu komponen utama kesuksesan dalam beribadah adalah konsistensi/istiqamah. Orang yang ingin merasakan nikmatnya ibadah, maka harus berjuang untuk melawan hawa nafsu, rasa malas, dan segala hambatan lainnya. Tahap kedua barulah ia diminta untuk tetap berada pada jalur tersebut, istiqamah dalam keadaan itu, walau pahit dirasa, sulit dijalani, akan tetapi diakhir baru membuahkan kebiasaan. Jika sudah sampai pada titik ini, maka nikmatnya ibadah melalaikan seluruh kesulitan yang datang. Tidak peduli seberapa jauh rumah anda dari mesjid, jika sudah masuk waktu rasanya kaki hendak berjalan dengan sendiri. Bukan masalah seberapa sibuk anda dengan kampus, kekeluargaan, almamater, selalu ada kerinduan untuk membuka lembaran-lembaran Al-Quran. Ini adalah produksi istiqamah, ia menciptakan kebiasaan.


Berkaca pada ulama-ulama terdahulu, tidak aneh kalau mereka sanggup mengkhatamkan Al-Quran dalam jangka waktu yang cepat. Imam Al-Aswad bin Yazid biasa mengkhatamkan Al-Qur’an di bulan Ramadhan setiap dua malam, waktu tidur beliau hanya antara maghrib dan isya (Siyar A’lam An-Nubala, 4: 51). Ada seorang ulama di kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Da’amah yang biasanya mengkhatamkan Al-Quran dalam tujuh hari. Namun jika datang bulan Ramadhan ia mengkhatamkannya setiap tiga hari. Ketika datang sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, ia mengkhatamkan setiap malamnya (Siyar A’lam An-Nubala’, 5: 276). Bahkan Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i yang kita kenal dengan Imam Syafi’i disebutkan oleh muridnya Ar-Rabi’ bin Sulaiman:


كَانَ الشَّافِعِيُّ يَخْتِمُ القُرْآنَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ سِتِّيْنَ خَتْمَةً


Imam Syafi’i biasa mengkhatamkan Al-Quran di bulan Ramadhan sebanyak 60 kali. Ditambahkan oleh Ibnu Abi Hatim bahwa khataman tersebut dilakukan dalam shalat (Siyar A’lam An-Nubala’, 10: 36). Bayangkan, Imam Syafi’i berarti mengkhatamkan Al-Quran dua kali dalam satu hari.


Bagaimana mungkin mereka melakukan itu semua? Jawabannya tidak lain dan tidak bukan adalah karena mereka sudah biasa. Mereka terlatih untuk itu selama kurun waktu bertahun-tahun, sehingga tidak butuh usaha lebih, mereka melakukannya dengan senang hati. Istiqamah adalah senjata sakral para wali Allah, al-istiqamah khairun min alfi karamah.

Kebiasaan Berujung Kebinasaan
Awalnya membentuk akhirnya dibentuk, memulai sebuah kebiasaan adalah pilihan. Kabar baiknya, kebiasaan adalah sesuatu yang dapat diubah. Walau telah berlangsung puluhan tahun, kebiasaan tetap mungkin untuk dirubah kembali. Tentu kadar kesulitannya berbeda-beda, kebiasaan yang dibangun berpuluh tahun akan jauh lebih susah untuk diganti dibanding kebiasaan yang baru terjadi selama beberapa tahun. Maka dari itu, tidak ada kata terlambat untuk membiasakan sesuatu yang baik dalam hidup.


Mengapa anak kecil dipaksa untuk melakukan kebaikan padahal ia tidak suka? Karena kebiasaan harus diciptakan. Kebanyakan dari kita dahulu marah jika disuruh mencuci kaki selepas bepergian dari luar rumah, namun sekarang hal tersebut menjadi spontanitas yang tidak perlu difikir lagi, justru jika tidak dibiasakan dari kecil akan menjadi sesuatu yang sangat sulit dikerjakan ketika dewasa. Pantas jika Nabi berpesan “suruhlah anak kalian untuk shalat ketika sudah mencapai umur tujuh tahun” padahal usia tersebut masi cukup belia, ternyata kebiasaan harus dipaksa, harus dibentuk, dan harus diupayakan.


Beberapa teori menyebutkan bahwa kebiasaan dibentuk minimal dalam kurun waktu 21 hari, ada pula yang menyebutkan 60 hari, sampai satu tahun lamanya. Namun yang jelas kebiasaan satu orang akan berbeda dengan kebiasaan yang lain. Sebuah studi pernah membahas mengenai habit formation, fenomena ini disebut sebagai keystone habit. Maksudnya anda cukup memulai membangun satu kebiasaan kunci, lalu pelan-pelan habit bagus ini akan menular ke pembentukan habit lain (spillover) dan membuat Anda mampu membangun good habits lainnya. Dalam percobaan tersebut ditemukan data bahwa keystone habit yang paling punya dampak diantaranya adalah kebiasaan berolahraga. Saat orang sudah berhasil membangun aktivitas fisik (kebiasaan olahraga), maka orang itu kemudian akan cenderung berhasil membangun habit baru lainnya seperti makin rajin membaca buku, makin rutin makan sehat, makin rajin investasi, makin rajin tafakur, itulah yang disebut spillover habits.


Mulailah untuk membiasakan diri melakukan hal-hal positif sedari kecil, agar anda tidak kesulitan merubahnya di waktu tua kelak. Jangan sampai kebiasaan hari ini menetas jadi kebinasaan di masa depan, karena apa yang anda lakukan hari ini adalah refleksi dari diri anda di masa yang akan datang. Agama Islam mengajarkan untuk tidak menghina kebaikan sekecil apapun, walau hanya dengan bermuka manis saat berpapasan. Kebiasaan-kebiasaan kecil dari hal-hal sederhana mari kita ciptakan, dari mulai bangun tidur hingga tidur kembali, silahkan atur kegiatan yang ingin anda kerjakan. Ingat, banyak yang tidak sadar bahwa hal sepele yang dia ulang-ulang setiap hari nyatanya adalah kebiasaan yang sangat sulit untuk ia tinggalkan di masa depan.


“Seluruh hidup kita, sejauh memiliki bentuk pasti, hanyalah sekumpulan kebiasaan”
(William James, 1982).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *