Toleransi secara etimologi disebutkan dalam KBBI yaitu sesuatu yang bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Sedangkan dalam khazanah pemikiran Islam, kata toleransi biasa disebut dengan terma tasâmuh. Kata tasāmuh menurut Ibnu Faris berasal dari kata samaha yang artinya suhūlah yaitu mudah. Menurut Fairuz Abadi kata tersebut berasal dari kata samuha berarti jāda yaitu bermurah hati dan karuma yaitu mulia. Sedangkan menurut Ibnu Mandzur kata simāh dan samāhatun berarti al-jūd yaitu murah hati.
Toleransi secara terminologi didefinisikan oleh Abu A’la Maududi yaitu suatu sikap menghargai kepercayaan dan perbuatan orang lain meskipun hal tersebut merupakan sesuatu keliru menurut pandangan kita. Kita tidak menggunakan cara-cara kekerasan dan pemaksaan untuk mengubah keyakinannya, atau dengan menghalang-halangi mereka melakukan sesuatu.
Sedangkan menurut Thohir Ibnu ‘Asyur, toleransi adalah sebuah keluwesan dalam bermuamalah dengan i’tidâl (seimbang) yaitu sikap wasathi (pertengahan) antara tadhyîq (mempersuit) dan tasâhul (terlalu memudahkan).
Nilai Toleransi dalam ajaran Alquran dan Sunnah
Menurut pemahaman Alquran dan Sunnah yang merupakan al-mashâdhîr al-asâsiyyah (sumber utama) dalam kerangka epistemologi Islam yang berperan untuk merumuskan konsep toleransi dalam Islam, diperlukan pemahaman yang komprehensif terhadap nilai-nilai toleransi yang terkandung dalam keduanya. Sehingga nilai-nilai tersebut dapat terintegrasi secara nyata dalam kehidupan saat ini. Terdapat banyak redaksi yang tercantum dalam Alquran dan Sunnah yang menyebutkan tentang kewajiban seorang muslim untuk berbuat baik dan adil terhadap semua manusia, tanpa membedakan agama, suku, ras, dan kepercayaannya.
Alquran tidak menyebut secara spesifik kata tasâmuh dalam redaksinya, namun ada beberapa kata yang sepaham dengan nilai yang dikandung toleransi. Diantaranya adalah kata al-shafhu (berlapang dada), al-‘afuwwu (sikap memaafkan), al-ihsânu (berbuat baik), al-birru (kebaikan), dan al- qishthu (keadilan).
Kata al-shafhu dan al-‘afuwwu disebutkan dalam Surah Al-Baqarah (2) : 109. Syeikh Muhammad Thantawi menjelaskan bahwa kata al-‘afuwwu berarti tarku al-‘iqāb ‘ala al-dzanbi (meniadakan hukuman atas dosa yang dilakukan), sedangkan kata al-shofhu yaitu tarku almuākhodzah (tidak melakukan pembalasan).
Ayat tersebut turun berkenaan dengan kekalahan umat Islam dalam perang Uhud. Orang-orang Yahudi mendatangi Nabi dan para sahabatnya di Madinah untuk mengolok-olok dan menghina. Mereka mengatakan “Jika memang agama kalian itu benar, pastilah kalian tidak akan kalah perang. Maka kembalilah kepada agama kami, karena itu yang lebih baik.” Kemudian turun ayat tersebut yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya untuk bersabar dan memaafkan atas kejahatan yang mereka lakukan.
Kata al-ihsân disebutkan dalam Surah An-Nahl: 125. Ayat tersebut turun berkenaan dengan mujādalah (perdebatan) antara Nabi Muhammad saw. dengan ahli kitab. Ibnu Katsir menjelaskan kalimat wa jādilhum billati hiya ahsan yaitu siapa saja yang hendak melakukan munādharah (diskusi) ataupun mujādalah (perdebatan) haruslah dengan cara yang baik dan penyampaian yang bagus.
Menurut Zamakhsari, mujādalah yang baik, yaitu dengan metode yang baik, serta sikap sopan, kelemah kembutan, dan tanpa adanya kekerasan ataupun pemaksaan. Melakukan mujādalah dengan baik, termasuk diantaranya dengan menggunakan wasīlah (perangkat) yang dapat mempengarui hati orang yang diajak berdebat untuk menerima apa yang kita sampaikan.
Prinsip Toleransi dalam Islam
Dari prinsip toleransi yang telah diajarkan menurut Alqur’an dan Sunnah diatas, agama Islam memulai dakwahnya dengan penuh kedamaian. Sebagai contoh Nabi Muhammad SAW. menjadikan keteladanannya dalam berdakwah sebagai titik tolak perubahan sosial di wilayah sekitar Arab. Salah satu dari bentuk keteladanan tersebut adalah toleransi yang dijunjung tinggi dalam berinteraksi antara sesama muslim dan dengan non muslim.
Konsep toleransi merupakan solusi dalam membina interaksi yang harmonis antar umat manusia. Namun toleransi tidak berarti membebaskan orang untuk berlaku sekehendaknya. Diperlukan aturan dan batasan dalam mewujudkan konsep ini. Toleransi dalam Islam memiliki beberapa prinsip, berikut pembagiannya:
Prinsip yang pertama, Al-hurriyyah al-dîniyyah (kebebasan beragama dan berkeyakinan). Kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan hak dasar yang dimiliki setiap manusia. Allah SWT. membebaskan setiap hambanya untuk menentukan pilihan keyakinannya. Melalui QS. al-baqarah: 256, Allah juga melarang setiap tindakan pemaksaan untuk memilih agama dan kepercayaan tertentu. Syeikh Thohir Ibnu ‘Asyur menjelaskan bahwa peniadaan ikrāh (pemaksaan) dalam ayat tersebut berarti larangan terhadap setiap pemaksaan untuk memeluk agama. Sedangkan penggunaan huruf la nāfiah li al-jinsi mengindikasikan tentang umumnya larangan tersebut. Pemaksaan agama dengan berbagai macam caranya merupakan larangan dalam Islam. Karena perkara iman bukan datang melalui pemaksaan, melainkan dengan proses istidlāl (pembuktian), nazhar (penalaran), dan ikhtiyār (pemilihan).
Sentuhan Toleransi di Tunisia
Setelah kita kupas tuntas corak toleransi dari sudut pandang kedua sumber utama Islam, ditambah dengan contoh kehidupan bertoleransi dari masa ke masa, sebenarnya banyak negaranegara yang telah menjunjung tinggi nilai mulia ini diantaranya adalah negara Tunisia, bahkan dianggap sebagai negara Arab paling moderat saat ini. Terbukti dengan ragamnya pemeluk agama di negara ini seperti Islam, Kristen, dan sebagian kecil Yahudi, Hindu dan Budha. Setiap pemeluk agama saling menghormati satu sama lain ketika berkunjung ke rumah-rumah ibadah untuk melaksanakan ibadahnya. Terkhusus pada bulan suci Ramadhan, aroma toleransi di Tunisia tercium sangat hangat. Namun, dalam hal ini Konstitusi Tunisia yang berlaku pasca revolusi 2011 sebenarnya tidak melarang konsumsi makanan atau minuman di ruang publik selama bulan Ramadhan, akan tetapi aparat kepolisian tetap menangkap warga yang kedapatan terang-terangan makan atau minum di jalanan saat berpuasa dengan dakwaan melanggar aturan
“kesopanan di ruang publik.” Maka rumahlah yang selama ini menjadi suaka bagi kaum muda buat menghindari puasa. Adapun restauran restauran akan dibuka ketika waktu-waktu mendekati berbuka, sehingga semua umat beragama akan menghormati aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan banyak yang non muslim pun ikut menghormati aturan tersebut dengan terkhusus di wilayah wilayah selatan dari negara Tunisia ini.
Dalam hal lain, Tunisia merupakan negara yang kaya akan nilai-nilai toleransi pada suku, ras, dan aneka budaya yang dimiliki. Walau asal muasal negara ini berasal dari suku Barbar yang terkenal dengan keberingasannya, namun warga Tunisia sangat menghargai pendatang-pendatang dari berbagai benua lain seperti Asia, Eropa, dan yang paling banyak dari negara-negara maghrib dan bagian utara Afrika. Mayoritas turis di Negara ini berprofesi sebagai pekerja di Tunisia guna mencari mata pencaharian untuk menafkahi keluarga. Mereka mendapat tempat yang sangat dihargai selama berada di Negara ini, walau di sebagian wilayah Tunisia masih terdapat banyak pemuda pemudi yang berprofesi sebagai pencuri (terkhusus di wilayah Makl Zaim dan Mellasine) dimana mayoritas Mahasiswa-mahasiswi Indonesia bertempat tinggal. Terlepas dari bahayanya wilayah ini dari para pemudi yang kurang teredukasi tersebut, kepolisian beserta pemerintah Tunisia tetap berusaha sebaik mungkin menjaga ketertiban dan keamanan sehingga semua penduduk merasa aman untuk tinggal di Negara ini.